Pengantar: Akhirnya Pak Sapto Waluyo menulis, menanggapi, dan menganalisa pernyataan dan sikap Fahri Hamzah.
Bobot tulisan ini beda dengan tulisan-tulisan pembelaan para loyalis Fahri Hamzah. Pak Sapto Waluyo adalah salah seorang pemikir strategis yang dimiliki PKS. Beberapa tahun lalu beliau juga pernah mengkritik gaya komunikasi politik Anis Matta di koran republika. Jadi, bobot tulisan ini tak sama dengan tulisan loyalis Fahri Hamzah yang tampak emosional dan labil.
Saya katakan beda karena saya bukan sekadar pembaca tulisannya. Saya telah membaca tulisan-tulisannya sejak lebih dari lima belas tahun lalu jauh sebelum ada PK dan PKS. Tetapi lebih dari itu saya mengenal penulisnya.
Karena itu, tulisan berikut layak dibaca utamanya aktifis "kemarin sore dan ingusan" yang tak banyak tahu masalah-masalah yang terjadi namun banyak bicara melebihi kadar pengetahuannya.
--------------------------------------------------------------
Dekonstruksi Fahri Hamzah
Senin, 02 Mei 2016 | 11:30 WIB
Sapto Waluyo
Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform | Dosen STT NF
Kancah perpolitikan Indonesia diwarnai gejolak internal partai. Bukan hal baru, namun menarik karena sekarang melibatkan partai yang selama ini dikesankan solid (PKS) dan figur pembetot atensi publik: Fahri Hamzah (mantan Wakil Ketua DPR RI, de jure). PKS telah mencabut status keanggotaan Fahri, dengan alasan melanggar disiplin organisasi. Akibat selanjutnya, jabatan publik yang didudukinya harus segera digantikan, kecuali jika Fahri bisa tetap menjabat dengan status non-partai atau bergabung dengan fraksi lain. Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tak mengatur hal itu.
Sebagaimana diperkirakan pengamat, Fahri melawan. Cocok dengan watak pribadinya, yang dengan bangga menyebut diri sebagai wakil rakyat dari NTB. Dengan kemampuan retorikanya, Fahri membangun imaji publik berdasar fakta terserak dan informasi yang dibingkai sendiri. Ia mengkritisi celah dalam prosedur internal PKS yang sulit ditembus media, berbeda dengan konflik di partai lain yang relatif lebih vulgar.
Puncak perlawanan Fahri adalah gugatan perdata di PN Jakarta Selatan (27/4). Fahri menyatakan diri sebagai warga negara yang taat hukum dan hendak menguji betapa putusan PKS bertabrakan dengan hukum nasional. Secara khusus, Fahri meluncurkan situs (www.bersamafh.com) untuk membantah penjelasan resmi DPP PKS ihwal pemecatan dirinya dari seluruh jenjang keanggotaan. Itu mirip dengan Yusuf Supendi yang menerbitkan buku “Menggugat Elite PKS” (2011). Bahkan, lebih luas efek negatifnya karena Fahri memanfaatkan posisi politik dan jaringan media internet.
Rekonstruksi yang dibangun Fahri berdasar keyakinan: ‘Saya tidak bersalah’ (I am not guilty). “Saya sedang menjalankan tugas negara sebagai wakil rakyat, setiap omongan saya dilindungi konstitusi. Permintaan agar saya mundur dari jabatan Wakil Ketua DPR RI sungguh-sungguh melanggar mandat publik. Apalagi desakan itu bersifat pribadi (Ketua Majelis Syura PKS), dan ada indikasi PKS ditekan oleh pemerintah yang saya kritisi,” begitu narasi besar (grand narrative) yang ingin disebarkan Fahri. Banyak pihak percaya, termasuk media massa yang membutuhkan kontraversi untuk menaikkan rating.
Agar imaji ketidakbersalahan (innocence) itu semakin merasuk di benak publik, Fahri mengulik mekanisme internal PKS yang jarang disorot publik. Sebenarnya partai politik lain juga tidak mengumbar dinamika internal antar elitenya, namun wartawan sesekali dapat menerobos dengan sumber anonim. Uniknya dalam hal PKS, Fahri sendiri yang membongkar ‘jeroan’ PKS, tentu saja dengan sentimen pejoratif. Sementara Fahri menampilkan diri putih-bersih agar otomatis dipersepsi sebagai pembawa perubahan dalam tubuh PKS, yang kini tersingkir (playing the victim).
Dengan cerdik, Fahri melemparkan kesalahan kepada pengurus DPP PKS yang ditudingnya telah membocorkan isu pemeriksaan dirinya oleh BPDO (Badan Penegak Disiplin Organisasi). Dua orang pengurus teras PKS disebut Fahri secara verbatim, Mardani Ali Sera (mantan Wakil Sekjen, kini Ketua DPP Bidang Kepemudaan) dan Almuzammil Yusuf (Ketua DPP Bidang Polhukam). Padahal, keduanya ditodong wartawan saat acara jumpa pers dan talk show di tempat terpisah. Kedua pengurus itu tak tahu apa-apa tentang proses pemeriksaan Fahri karena BPDO bekerja secara tertutup untuk menghindari intervensi dari siapapun. Kedua pengurus yang lebih senior dari Fahri itu, hanya merespon pertanyaan media sekadarnya. Tapi, reaksi Fahri atas pemberitaan media yang menyorot statusnya, sangat berlebihan, sehingga justru membuka aib sendiri.
Fahri sendiri yang mengungkap peristiwa pertemuan dirinya dengan Ketua Majelis Syura, pemimpin puncak dalam organisasi PKS! Fahri sendiri yang membuka subtansi percakapan mereka berdua dan kemudian beropini bahwa arahan Ketua MS (Salim Segaf al Jufri) adalah permintaan pribadi, sehingga bisa dibantah dan tidak mesti ditaati! Fahri juga yang mengungkapkan argumen bahwa jabatan Wakil Ketua DPR RI bersifat mandat dari publik, sehingga tak bisa dicopot sembarangan atas usul pimpinan Partai. Bahkan, kemudian Fahri berbicara lebih detail tentang upaya untuk shalat istikharah (entah dilema apa yang sedang dihadapi) dan konsultasi dengan penasehat hukum tata negara (mungkin juga termasuk penasehat politiknya, yang digaji dengan uang rakyat!). Fahri telah membocorkan sendiri proses pemeriksaan atas dirinya, bukan orang lain.
Berdasarkan kronologi yang terpublikasi via situs BersamaFH, Fahri membeberkan sikap aslinya:
1. Fahri mengakui telah melakukan 5 (kali) pertemuan dengan Ketua MS sejak sidang Majelis Syura PKS (9-10 Agustus 2015) yang antara lain memutuskan proses regenerasi kepemimpinan. Anehnya, pertemuan pertama yang diakui Fahri berlangsung pada 10 Oktober 2015. Jadi, selama dua bulan (Agustus-Oktober 2015), Fahri ‘ngapaian aja!’, kata orang Betawi. Sebagai kader PKS yang mendapat amanat jabatan publik, apa tidak merasa perlu melapor kepada Pimpinan baru yang menggariskan visi “Berkhidmat untuk Rakyat”? Apa Fahri tidak berinisiatif meng-update konstelasi politik mutakhir pasca Pilpres 2014 dan konfigurasi kekuatan di DPR/MPR RI serta isu-isu strategis yang relevan dengan kepentingan PKS?
Fahri memilih bersikap pasif, menunggu panggilan atau kunjungan Pimpinan PKS, sambil bebas bermanuver saat kepengurusan baru melakukan konsolidasi internal. Posisi Fraksi PKS di DPR/MPR kala itu masih dipertimbangkan, apakah akan di bawah kendali DPP seperti periode sebelumnya? Akhirnya diputuskan Presiden PKS akan mengarahkan langsung Ketua Fraksi PKS dan selanjutnya Ketua FPKS mengendalikan para anggota sesuai dengan bidang tugasnya. Sebagian anggota FPKS ada yang ditugaskan menjadi pengurus DPP, MPP atau DSP periode 2015-2020. Sedangkan Fahri dan beberapa anggota FPKS memiliki beban berat di parlemen, sehingga belum diberi tugas kepartaian.
Presiden PKS (M. Sohibul Iman) telah memberi arahan kepada Ketua Fraksi PKS di DPR (Jazuli Juwaini) tentang kebijakan baru Partai pasca Munas 2015. Ketua FPKS diminta mengendalikan seluruh anggota FPKS agar sejalan dengan garis kebijakan Partai. Entah mengapa, Fahri dinilai paling sulit berkoordinasi. Fahri sering mengeluarkan pernyataan dan mengambil tindakan pribadi, tanpa konsultasi dengan Pimpinan Fraksi atau Partai, dan semua orang diminta memahami pernyataan/ tindakan yang telanjur dilakukannya. Akhirnya publik menyaksikan sikap Fahri yang berseberangan dengan Hidayat Nur Wahid (Wakil Ketua Majelis Syura PKS, sekaligus Wakil Ketua MPR RI), Sohibul Iman (Presiden PKS) dan Ketua/Anggota FPKS lain. Publik yang menyaksikan kontraversi elite PKS dibuat bingung: mana sikap resmi PKS terhadap masalah-masalah krusial kebangsaan? Kontraversi telah dibangun Fahri sejak, sehingga menjadi trade mark dirinya di panggung publik.
Semula diharapkan masalah itu dapat diselesaikan Fraksi PKS. Ternyata sulit, karena Fahri merasa lebih tinggi posisinya dari anggota FPKS yang lain. Akhirnya, Pimpinan (DPTP PKS) memanggil Fahri pada 1 September 2015 (sesuai SMS yang dikirim Sekretaris Majelis Syura PKS, Untung Wahono, jadi bukan tanggal 10 Oktober 2015 seperti pengakuan Fahri), untuk memaparkan arah kebijakan baru PKS. Fahri menyatakan siap mempelajari dan menyesuaikan diri. Terang dan jelas di situ, bahwa arahan Pimpinan bukan pendapat pribadi Ketua MS karena Salim Segaf tidak punya kepentingan dan persoalan personal dengan Fahri. Cucu pendiri organisasi Al-Khairat itu memulai tradisi positif dengan membahas kontraversi pejabat publik PKS secara kolektif (rapat DPTP) dan mengajak pihak yang bersangkutan untuk berdialog. Pada masa sebelumnya, Ketua MS bisa mengambil kebijakan sepihak dan memerintahkan langsung, sesuai dengan ketentuan AD/ART PKS yang menempatkan Ketua MS dalam posisi khusus. Seperti klaim Fahri sendiri, sebagian sikap kerasnya di masa lalu atas dasar perintah pimpinan (lama). Entah benar, atau tafsiran pribadi Fahri.
Tapi saat ini, Fahri menganggap arahan Ketua MS (sekaligus Ketua DPTP) hanya bersifat pribadi dan pertemuan DPTP itu sebagai forum curhat yang tidak mengikat. Bisa dibayangkan, betapa kontradiksi pemahaman Fahri terhadap posisi kepemimpinan PKS, dan terdedahkan pula syahwat pribadi Fahri atas jabatan Wakil Ketua DPR RI. Fahri merasa lebih tinggi dari Pimpinan PKS karena mendapat amanat publik (pilihan rakyat NTB) dan sering menyebut jabatan Wakil Ketua DPR RI adalah hasil lobi politik Koalisi Merah Putih (KMP) di parlemen. Karena itu, dia bebas berbicara dan bertindak apa saja. Tidak ada yang bisa membatasi ruang gerak/bicaranya, sebab dia sudah merasa paham betul UUD RI dan bahkan (menyatakan berulang-kali) ikut menyusun UU MD3 dari A sampai Z.
Bila dicermati, pertemuan perdana DPTP PKS dengan Fahri (1/9/2015) tidak membahas sama sekali jabatan politik atau status keanggotaan Fahri. Yang ditekankan: apakah Fahri (sebagai pejabat publik dari PKS) memahami arah kebijakan baru PKS pasca Majelis Syura (yang kemudian dikuatkan dalam Amanat Munas 2015)? Fahri menyatakan siap mempelajari dan diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri.
Namun, setelah satu bulan berlalu kontraversi semakin menjadi-jadi. Berbagai isu datang silih-berganti di tengah proses konsolidasi Partai. Para pengamat yang obyektif dan meneropong masalah secara kontekstual, dapat membayangkan kerepotan yang dihadapi Pimpinan PKS saat itu. Konsolidasi yang sedang dibangun telah dirusak oleh pernyataan dan tindak pribadi seorang kader yang kebetulan menduduki jabatan publik. Karena itu, DPTP memutuskan untuk memanggil kembali Fahri (10 Oktober 2015): sekadar menanyakan apakah Fahri benar-benar siap untuk beradaptasi dengan kebijakan baru dan bagaimana realisasinya? Fahri mungkin merasa selama ini diberi kebebasan seluas-luasnya, bahkan jika berbeda dengan sikap resmi Partai, tetap dibiarkan berlenggang aman. Sekarang sepak terjangnya dinilai negatif.
Pada pertemuan berikutnya (23 Oktober 2015), ketika ditegaskan arahan Pimpinan, tetiba Fahri menyatakan “sebagai jundi (prajurit) saya akan taat dan siap ditugaskan sebagai apa saja”. Tidak ada permintaan mundur, saat itu. Fahri sendiri yang menyatakan siap mundur apabila tindakannya dianggap tidak sejalan dengan kebijakan Partai, tapi minta waktu sampai pertengahan Desember 2015.
Sikap itu “dipuji” Pimpinan PKS dan menyatakan Fahri sebagai “salah satu kader terbaik PKS”. Karena Pimpinan PKS saat itu “percaya” bahwa Fahri mengucapkan pernyataannya dengan jujur, tanpa tekanan dari siapapun, dan akan menepati janji tersebut. Tapi pujian dan kepercayaan Pimpinan PKS ternyata diputarbalikkan oleh Fahri, dengan keyakinan aslinya: “Saya tidak bersalah, lalu mengapa saya harus mundur?”. Jadi, Fahri bergulat dengan pikiran dan pernyataannya sendiri. Dia merekonstruksi pertemuan, arahan dan kebijakan Pimpinan dengan kerangka konspirasi: ada oknum internal PKS yang ingin mendepaknya dari kursi Wakil Ketua DPR RI dan berkolaborasi dengan tekanan eksternal dari penguasa.
Pertanyaan Fahri kepada Ketua MS menunjukkan hal itu, sehingga ditegaskan: tidak ada tekanan dari manapun. Fahri masih menafsirkan jawaban Ketua MS sebagai keraguan. Padahal, justru karena tidak terpikirkan sama sekali dan memang tidak ada intervensi dari siapapun. Soal masukan dan kritik dari kader PKS dan tokoh masyarakat, Fahri harus tahu: sangat banyak! Sudah terlalu lama Fahri tidak mendengar kritik yang lugas. Kepemimpinan baru PKS tidak mengambil keputusan sepihak, tapi membuka ruang dialog dan menunggu pembuktian komitmen.
Sejak Munas 2015 seluruh Pengurus DPP, MPP, dan DSP PKS telah menyetujui dan menandatangani Pakta Integritas. Bahkan, dalam Mukernas PKS, Pakta Integritas diperluas untuk seluruh Pengurus DPW dan Calon Kepala Daerah PKS yang akan berpartisipasi dalam Pilkada serentak 2015. Sesuai asas persamaan dan non-diskriminasi, Pakta Integritas itu mestinya diterapkan pula kepada anggota DPR RI dan DPRD dari Fraksi PKS, serta kader PKS yang menjadi Kepala Daerah di seluruh Indonesia.
Fahri memanfaatkan celah peraturan yang sedang diperbaiki di masa konsolidasi. Jika Fahri bertanya, mengapa dirinya tak pernah mendapat evaluasi dari Fraksi atau lembagai lain? Maka, jawabnya harus ditanyakan kepada kepemimpinan sebelumnya. Di masa kepengurusan baru PKS, kekosongan aturan di tingkat nasional dengan urgensi tinggi dibahas DPTP. Sebenarnya jika mekanisme organisasi berjalan normal, kontraversi Fahri cukup ditangani pejabat setingkat Fraksi PKS. Tetapi, Pimpinan PKS menghormati disiplin organisasi dan mengapresiasi inisiatif kader, karena itu memberikan kesempatan bagi Fahri untuk membuktikan komitmennya hingga pertengahan Desember 2015. Ketika sudah terbukti bahwa “Fahri tidak mau menyesuaikan diri dengan kebijakan PKS, lalu tidak menaati arahan Pimpinan PKS, dan tidak bisa membuktikan komitmennya sendiri”, maka persoalan diserahkan kepada BPDO. Manakala persoalan sudah masuk ranah BPDO, maka Pimpinan tertinggi sekalipun tidak bisa lagi mengintervensi. Di situ keunikan PKS.
2. Fahri tidak menyangka bahwa sikapnya mengulur waktu (buying time) dan meremehkan arahan Pimpinan akan berujung pada sidang BPDO (11/1/2016). Publik juga kaget, menyangka belum pernah terjadi sebelumnya, petinggi PKS diperiksa loyalitas dan kedisiplinannya. Kenyataannya, sejak masa kepengurusan Partai Keadilan (1998-2003), penegakan disiplin sudah berjalan untuk kader di semua level. Tinggal dibuka saja arsipnya.
Fahri memprotes BPDO karena dakwaan atas dirinya dinilai mengada-ada. Menurut catatan Fahri sendiri, pertama, ia didakwa melawan keputusan partai terkait revisi UU KPK, karena mengeluarkan pernyataan di media yang berbeda dengan keputusan Partai. Kedua, Fahri didakwa mempermainkan pemimpin Partai karena sebelumnya menyatakan diri bersedia mundur namun kemudian menolak. Ketiga, Fahri didakwa melakukan pembangkangan dan makar secara masif, sistematis dan terstruktur karena menolak mengundurkan diri dengan memobilisasi dan membuat gerakan yang melibatkan kekuatan internal kader dan eksternal untuk melawan Pimpinan Partai. Fahri menolak semua dakwaan itu dalam pemeriksaan tertulis yang dijawab seadanya dan pemeriksaan lisan yang direspon sambil lalu. Kepada publik, Fahri mengabarkan sedang memperjuangkan hak-hak pribadinya, tetapi dalam forum resmi Fahri menyia-nyiakan kesempatan untuk berargumentasi.
Fahri membangun imaji bahwa BPDO hanya menjadi ‘alat kekuasaan’ kelompok tertentu di tubuh PKS. Peraturan baru disusun hanya untuk mengadili dirinya. Semua pengurus berkomplot untuk mencopot dirinya dari jabatan publik yang sudah diraihnya dengan susah-payah. Fahri mengalami disorientasi, dia tidak bisa memandang dinamika organisasi dengan jernih, karena merasa agenda yang sedang diperjuangkannya terancam dengan kebijakan baru PKS. Kemungkinan Fahri memiliki kepentingan yang tidak sejalan dengan agenda PKS. Padahal seluruh anggota Fraksi PKS semestinya merupakan perpanjangan kebijakan Partai yang mengelola aspirasi publik.
Para pengamat dan pewarta yang obyektif, silakan menilai: apa kepentingan Fahri di balik sikapnya yang ngotot mendukung pembangunan gedung dan pemberian fasilitas anggota DPR RI, menerima revisi UU KPK, dan mendukung posisi Setya Novanto dalam skandal Freeport Gate serta menyerang MKD yang dipimpin sesama kader PKS (Surahman Hidayat)? Itu baru sebagian kecil dari sikap Fahri yang secara terbuka bertentangan dengan sikap PKS. Fahri tidak pernah bisa menjelaskan alasannya secara masuk akal, kecuali klaim bahwa ‘segala pernyataan dan sikapnya dilindungi konstitusi’. Narasi besar taat pada konstitusi negara dijadikan tameng Fahri untuk melecehkan AD/ART Partai. Padahal, silakan ditakar semua pernyataan dan sikap Fahri selama ini dari sisi: bobot konstitusionalitas dan kepentingan publiknya, seberapa besar? Tak ada yang tahu, karena Fahri juga tidak pernah memberikan laporan kepada Pimpinan PKS.
Sebenarnya persoalan bisa selesai di tingkat BPDO, jika Fahri menggunakan semua haknya dalam menjalani prosedur pemeriksaan. Tapi, Fahri sudah berpikiran negatif tentang BPDO, sebagaimana ia memandang enteng arahan Pimpinan PKS.
3. Sebagai konsekuensi dari sikap Fahri yang meremehkan pemeriksaan BPDO, maka kasus dilanjutkan ke Majelis Qadha. Pada tingkat ini, persoalan jadi serius, bagi pihak yang memahami logika Partai Kader. Substansi pemeriksaan bukan lagi masalah kedisiplinan, melainkan komitmen kepada nilai-nilai dasar kepartaian.
Sebagaimana Partai Golkar mengenal doktrin “Karya Siaga Gatra Praja” dan paradigma baru di masa reformasi, lalu PDIP mengenal ideologi Pancasila versi Bung Karno (1 Juni 1945) dan doktrin Marhaenisme sebagai representasi perjuangan wong cilik, maka partai-partai lain pun punya kerangka nilai perjuangan tersendiri, termasuk PKS menjalankan platform perjuangan Partai Dakwah dalam bingkai NKRI. Nilai-nilai dasar PKS sejalan dengan Pancasila dan UUD RI (yang sudah diamandemen sepanjang era reformasi). Penegakan disiplin organisasi menurut AD/ART PKS tidak bertentangan dengan hukum positif nasional. Bahkan, bisa dipahami bila Partai sebagai pilar utama demokrasi, maka disiplin kepartaian menjadi modal dasar bagi peningkatan kualitas demokrasi. Publik yang waras akan berpandangan, apabila seorang kader partai tidak mengindahkan disiplin organisasinya sendiri dalam skala mikro, maka bisakah diyakini dia akan menjalankan disiplin/norma publik dalam lingkup makro saat menjadi pejabat negara?
Fahri masih mempertanyakan dakwaan yang diajukan BPDO kepada dirinya dan meminta pedoman tentang pemberian penghargaan dan sanksi, serta tata cara penegakan disiplin organisasi. Materi persidangan Majelis Qadha yang disampaikan secara langsung tidak diperhatikannya. Fahri tidak bisa menjelaskan sikap dan pernyataan kontraversial dalam forum resmi organisasi. Ia lebih suka melayani pertanyaan media, memprovokasi forum-forum publik dengan berbagai isu populis untuk menutupi persoalan yang sedang dihadapi, dan berceloteh via media sosial (@Fahrihamzah). Disamping itu, Fahri mengklaim sebagai pendiri PKS (sic) dan tidak layak diberi sanksi pelanggaran berat.
Salah satu dalil yang dikutip Fahri untuk merasionalisasi sikap perlawanannya terhadap Pimpinan PKS berasal dari pemikir Islam (al-Banna): “Yang saya maksud dengan tsiqah adalah rasa puasnya seorang prajurit atas komandannya dalam hal kemampuan dan keikhlasan, dengan kepuasan mendalam yang dapat menumbuhkan rasa cinta, penghargaan, penghormatan dan ketaatan.” (Risalah Pergerakan, terjemahan Jilid I: 316, 2007). Fahri hendak menarik simpati kader PKS yang tidak mengikuti latar belakang masalah dengan jelas.
Padahal secara tersirat, Fahri mengungkapkan bahwa ia tidak puas/percaya dengan kemampuan dan keikhlasan kepemimpinan baru PKS di bawah Salim Segaf dan Sohibul Iman. Mengapa Fahri tidak berterus-terang? Katanya dia berasal dari suatu daerah/suku yang menghargai keterus-terangan? Mengapa dia tidak mengungkapkan ‘ketidakpuasan’ (baca: ketidakpercayaan) itu kepada yang bersangkutan? Fahri kemudian membanding-bandingkan masa kepemimpinan Hilmi Aminuddin dengan Salim Segaf dan kenegarawanan Anis Matta versus Sohibul Iman. Lebih jauh, Fahri membangun ilusi bahwa Pimpinan PKS telah ditekan oleh pihak eksternal, bahkan PKS disusupi agen intelijen yang membocorkan rahasia organisasi, dan elite PKS menyembunyikan kasus yang tidak ingin diketahui publik. Fahri menutupi sikap bancinya dengan kampanye telah dizalimi oleh PKS dan menuntut keadilan di depan hukum nasional.
Bagi Fahri, ikrar yang wajib dipahami dan dipegang Anggota/Kader PKS sebagaimana tercantum dalam ART (Pasal 6, ayat 1) tidak bermakna sama sekali. Ikrar itu, “Saya berjanji untuk senantiasa berpegang teguh kepada Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan peraturan Partai Keadilan Sejahtera, serta setia kepada pimpinan Partai”, cuma jadi meme indah di media sosial.
4. Setelah putusan Majelis Qadha, ada kesempatan terakhir Fahri untuk melakukan pembelaan di Majelis Tahkim (18/2/2016). Namun, Fahri menyibukkan diri dengan agenda parlemen dan tidak menyediakan waktu cukup untuk berkontemplasi. Ia menggugat legalitas MT sebagai mahkamah partai yang dibentuk berdasarkan UU Partai Politik, sembari mengingatkan MT agar menghormati kemerdekaan dirinya dalam memperoleh informasi terkait masalah yang didakwakan, dengan mengutip pasal-pasal dalam konstitusi tentang HAM. Fahri menyampaikan dalam suratnya, “Jika panggilan panggilan Majelis Tahkim hanya untuk mempercepat prasyarat tiga kali pemanggilan, maka saya menyatakan tidak akan hadir karena saya tidak menemukan Majelis Tahkim sebagai tempat yang tepat untuk mendapatkan keadilan.” Selain kasus Fahri, Majelis Tahkim PKS juga menangani beberapa kasus pelanggaran berat. Proses penegakan disiplin tak bisa ditunda atau dibatalkan karena menunggu keberanian seseorang untuk memenuhi komitmennya sendiri. Penegakan disiplin berlaku bagi siapa saja, tanpa diskriminasi.
Dengan segala pesona retoriknya, Fahri berupaya mendekonstruksi tatanan PKS: ketaatan pada pemimpin tidak boleh menabrak aspirasi publik, disiplin dalam berorganisasi tidak mengekang hak anggota, prosedur pemberian sanksi Partai tidak bisa bertentangan dengan hukum negara, dan seterusnya. Pernyataan Fahri terdengar heroik, tindakannya dinilai para pemujanya sebagai keberanian dan terobosan untuk mendewasakan PKS. Padahal kenyataannya, Fahri sedang mendekonstruksi dirinya sendiri: tak ada loyalitas pada Partai dan Pimpinan Partai, tidak seorangpun yang dipercaya Fahri bisa mengarahkan dirinya; tidak Hilmi Aminuddin, tidak juga Salim Segaf. Patut dicatat, kedua tokoh senior PKS itu memberikan kesaksian dalam Majelis Tahkim yang diragukan legalitasnya oleh Fahri. Anis Matta memberikan keterangan tambahan di luar sidang MT.
Watak asli Fahri terlihat saat menggugat PKS secara perdata di pengadilan negeri dengan tuntutan denda Rp 500 miliar untuk kerugian material dan immaterial. Untuk biaya pengacara, Fahri mencadangkan Rp 1 miliar. Bahkan, di saat proses mediasi disarankan Hakim PN Jaksel, Fahri menggugat tiga tokoh PKS (Sohibul Iman, Surahman Hidayat, dan Hidayat Nurwahid) ke MKD DPR RI (29/4/2016). Fahri benar-benar memanfaatkan posisi politik untuk mempertahankan kedudukan sebagai Wakil Ketua DPR RI dengan segala fasilitasnya, sambil menyerang orang-orang yang dipandang memusuhinya.
Siapa yang mengenal track record Fahri, tak merasa aneh dengan pemecatannya dari anggota PKS. Ini bukan kasus pertama yang dialami Fahri. Saat memimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di masa reformasi (1998), Fahri dilengserkan di tengah jalan, sebelum tuntas masa jabatannya. Para aktivis dan alumni KAMMI harus membongkar kembali sejarah organisasi dengan obyektif dan komprehensif, agar tidak terjebak agitasi dan narasi kosong para demagog.
Fahri memang tercatat sebagai pendiri PK (1998), tapi jelas bukan pendiri PKS (2003). Dalam daftar pendiri PK, tercantum nama Salim Segaf al-Jufri di nomor 1 dan Fahri nomor 7 dari 50 anggota dewan pendiri. Dulu mereka pernah bersama, tapi kini Fahri memilih jalan berbeda. (Sumber www.selasar.com)