Selamat Jalan Nokia
Tinggal Kenangan
Mengingat betapa digjayanya Nokia, memang susah bagi kita untuk mepercayai bahwa sang raksasa harus kolaps, tapi itulah kompetisi bisnis dewasa ini yang merupakan bentuk pertempuran paling beradab karena saling tidak berhadapan seperti lazimnya perang klasik, tetapi hasilnya sama musuh jatuh, tewas tak berdaya, dan itulah yang dialami oleh Nokia saat ini, karena tidak mampu dikeroyok oleh Apple, Blackberry dan Android.
Tinggal Kenangan
Mengingat betapa digjayanya Nokia, memang susah bagi kita untuk mepercayai bahwa sang raksasa harus kolaps, tapi itulah kompetisi bisnis dewasa ini yang merupakan bentuk pertempuran paling beradab karena saling tidak berhadapan seperti lazimnya perang klasik, tetapi hasilnya sama musuh jatuh, tewas tak berdaya, dan itulah yang dialami oleh Nokia saat ini, karena tidak mampu dikeroyok oleh Apple, Blackberry dan Android.
Clayton Christensen dalam buku best seller berjudul : The Innovator’s Dilemma: The Revolutionary Book that Will Change the Way You Do Business menjelaskan kenapa perusahaan perusahaan besar yang dulunya market leader bisa kalah dengan pendatang pendatang baru.
Christensen menggambarkan 2 jenis teknologi: sustaining technologies dan disruptive technologies. Sustaining Technologies adalah teknologi yang meningkatkan kinerja produk. Ini adalah teknologi yang kebanyakan perusahaan besar sudah akrab, misalnya Nokia dengan symbian-nya dan menurut Christensen perusahaan besar memiliki masalah yang berhubungan dengan disruptive technologies, yaitu “inovasi yang membuat produk yang sudah mapan kinerjanya menjadi lebih buruk .” Teknologi ini umumnya “lebih murah, sederhana, dan lebih nyaman untuk digunakan sehingga menyebabkan kegagalan perusahaan yang sangat sukses yang hanya siap untuk sustaining technologies. Nokia merasa sudah nyaman dengan symbian (sustaining technologies) dan tidak siap ketika Android ( disruptive technologies) datang menghajar.
Apakah Nokia dan perusahaan perusahaan besar tidak sadar akan yang namanya disruptive technologies? Mereka sadar itu, tapi sebagai produk yang sudah mapan dan memiliki pasar besar, menciptakan suatu produk baru bisa membahayakan produk mapan tersebut. Inilah yang disebut juga oleh Christensen sebagai Innovator Dilemma. Dan Innovator Dilemma bukan hanya terjadi pada perusahaan perusahaan dengan basis teknologi tinggi tetapi juga hampir di semua lini mengalamainya. Di tanah air kita menyaksikan Gudang Garam dan Djarum takut melakukan inovasi dengan memproduksi rokok mild lantaran takut akan menghantam balik produk utamanya Gudang Garam Merah dan Jarum Super, dan akhirnya Sampoerna datang dengan A_Mild nya. Dulu Honda ragu melakukan inovasi motor skutik dan akhirnya Yamaha Mio yang datang; sekalipun Honda kemudian mengejar balik. Garuda ragu ragu dengan penerbangan murah dan akhirnya Lion Air yang datang, sehingga Garuda terpaksa ikut bermain dengan Citi-Link. Bank bank konventional awalnya ragu ikut memasuki lembaga keuangan berbasis syariah karena takut nasabah lari, tetapi akhirnya ikut juga. Di Malaysia, Proton takut memasuki segmen mobil kecil, dan ketika Produa memasuki segmen ini, Produa menjadi market leader.
Christensen menggambarkan 2 jenis teknologi: sustaining technologies dan disruptive technologies. Sustaining Technologies adalah teknologi yang meningkatkan kinerja produk. Ini adalah teknologi yang kebanyakan perusahaan besar sudah akrab, misalnya Nokia dengan symbian-nya dan menurut Christensen perusahaan besar memiliki masalah yang berhubungan dengan disruptive technologies, yaitu “inovasi yang membuat produk yang sudah mapan kinerjanya menjadi lebih buruk .” Teknologi ini umumnya “lebih murah, sederhana, dan lebih nyaman untuk digunakan sehingga menyebabkan kegagalan perusahaan yang sangat sukses yang hanya siap untuk sustaining technologies. Nokia merasa sudah nyaman dengan symbian (sustaining technologies) dan tidak siap ketika Android ( disruptive technologies) datang menghajar.
Apakah Nokia dan perusahaan perusahaan besar tidak sadar akan yang namanya disruptive technologies? Mereka sadar itu, tapi sebagai produk yang sudah mapan dan memiliki pasar besar, menciptakan suatu produk baru bisa membahayakan produk mapan tersebut. Inilah yang disebut juga oleh Christensen sebagai Innovator Dilemma. Dan Innovator Dilemma bukan hanya terjadi pada perusahaan perusahaan dengan basis teknologi tinggi tetapi juga hampir di semua lini mengalamainya. Di tanah air kita menyaksikan Gudang Garam dan Djarum takut melakukan inovasi dengan memproduksi rokok mild lantaran takut akan menghantam balik produk utamanya Gudang Garam Merah dan Jarum Super, dan akhirnya Sampoerna datang dengan A_Mild nya. Dulu Honda ragu melakukan inovasi motor skutik dan akhirnya Yamaha Mio yang datang; sekalipun Honda kemudian mengejar balik. Garuda ragu ragu dengan penerbangan murah dan akhirnya Lion Air yang datang, sehingga Garuda terpaksa ikut bermain dengan Citi-Link. Bank bank konventional awalnya ragu ikut memasuki lembaga keuangan berbasis syariah karena takut nasabah lari, tetapi akhirnya ikut juga. Di Malaysia, Proton takut memasuki segmen mobil kecil, dan ketika Produa memasuki segmen ini, Produa menjadi market leader.
Jadi, sebesar apapun anda, kalau tidak adaptif terhadap perubahan anda akan tergilas. Bukankah Charlis Darwin sejak lama mengatakan “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent, but the one most responsive to change” . Kalau para politisi sibuk loncat partai sekarang, jangan disalahkan karena sejatinya mereka adalah inteltual intelektual yang pasti pernah membaca buku Christensen dan Charles Darwin.
Selamat beradaptasi terhadap perubahan.
Ingin tahu informasi terkait beladiri? Klik disini
Terima kasih telah membaca artikel tentang Selamat Jalan Nokia di blog Tadabbur Kubur Takabbur jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.