Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com
Powered by Blogger.

Penjara dan Karya

Penjara dan Karya

Oleh: Erizal

Dalam pengantar Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka terus-terang, ingin berterima kasih kepada rezim Bung Karno yang telah memenjarakannya. Bukan basa-basi, tapi memang, tanpa di penjara tak mungkin buku Tafsir Al-Azhar itu bisa ditulis. Baik karena kesibukan atau hal lain. Sulit memiliki jiwa yang lapang seperti itu tanpa basis keýakinan yang kuat.

Buya Hamka memang tak terus-terang berterima kasih kepada rezim Bung Karno. Sebab, saat keluar dari penjara, rezim itu sudah runtuh. Bung Karno sendiri, menghadapi takdir sejarahnya yang menukik tajam, justru di akhir-akhir hidupnya. Kesalahan tetaplah kesalahan. Ucapan terima kasih bisa disalahartikan. Tapi, amarah-dendam, sudah hilang.

Buktinya, saat Bung Karno meninggal dunia, Buya Hamka maju ke depan, menjadi imam shalat jenazah bagi Sang Proklamator mengantarkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Tak ada lagi amarah dan dendam. Jasanya jauh lebih banyak dan itu yang lebih mengemuka, ketimbang kesalahannya. Meski bila diingat, peristiwa itu memilukan.

Dalam buku berjudul, Ayah..., Irfan Hamka, anak Buya Hamka menuliskan tentang keperihan hidupnya, terutama yang dialami umminya, saat Buya Hamka berada di dalam penjara. Bukan soal ekonomi saja, tapi juga fitnah yang datang bertubi-tubi. Propaganda PKI amat ganas, buku-buku Buya Hamka tak hanya terlarang, tapi dibakar di mana-mana.

Pada saat itulah, kehidupan keluarga Buya Hamka, mengalami titik paling rendah. Sampai-sampai, istri Buya Hamka menjual barang-barang berharga yang bisa dijual buat bertahan hidup. Dan itu, berlangsung selama dua tahun empat bulan. Bukan waktu yang singkat, memang. Buya Hamka bukan tidak tahu, tapi mau diapakan lagi? Hanya pasrah, kepada Illahi Robbi yang bisa dilakukan, sebagai sumber segala sumber kekuatan hidup.

Dalam suasana seperti itulah buku Tafsir Al-Azhar mulai dituliskan. Beruntunglah, Buya Hamka telah menjadi penulis ternama sebelum masuk dalam penjara. Baik penulis fiksi maupun nonfiksi. Bukan baru belajar menulis, apalagi mendatangkan penulis, untuk belajar menulis. Tak aneh, bila Tafsir Al-Azhar terasa betul jiwa sastranya selain konteks ke-Indonesia-an yang kental. Penjara tak menghalangi berkarya, karena hatinya merdeka.

Penjara hanya zahir, batinnya terbang melayang jauh, hingga Arsy. Tak ada batas, antara ruang dan waktu. Mungkin itulah rahasia di balik perkataan Ibnu Taimiyah, bahwa dalam berdakwah, ia mengalami risiko-risiko seperti dibunuh, diusir, dan di penjara. Tapi, itu tak menciutkan nyali seorang dai. Dibunuh, dimaknai sebagai syahid. Diusir dimaknai sebagai hijrah, di jalan Allah. Di penjara, dimaknai sebagai berkhalwat dengan Tuhannya.

Ibnu Taimiyah tidak sekadar berbicara, berteori, gagah-gagahan, mengungkapkan kata-kata mutiara atau hikmah belaka. Tapi, hidupnya, bergelimang di antara perang dan penjara itu. Bahkan, beliau tewas di dalam penjara. Hanya karena perbedaan pandangan dengan penguasa. Di mana-mana, kubu penguasa selalu benar, meski hanya menguasai parpol atau organisasi sekalipun. Pahlawan dan pecundang bisa berubah dalam sekejap.

Artinya, Buya Hamka tak sendiri. Ada banyak orang, yang juga diperlakukan sama, bahkan lebih. Sayyid Quthb, penulis Tafsir Fi-Zhilalil Qur'an juga menyelesaikan karyanya di penjara. Malah, berjalan menuju tiang gantungan, dengan amat berwibawa tanpa rasa takut. Dimensi ruang dan waktunya telah hilang. Bukankah itu yang membedakan antara makhluk dengan Tuhannya? Satu hari bagi Tuhan, umpama seratus tahun, bagi makhluk.

Pada tahap itu, tak ada lagi pertanyaan, mengapa ia sampai di penjara? Apa betul kesalahannya? Siapa yang menyebabkannya, sampai terlempar ke penjara? Menyalakan lilin jauh lebih baik, ketimbang mengutuk kegelapan. Jawaban-jawaban itu tidak penting, apalagi sampai menyalahkan diri sendiri atau orang lain yang belum jelas kebenarannya. Semua larut dalam taqarrub Ilallah. Menulis, apalagi menulis tafsir Quran, bagian dari itu.

Penjara-penjara seperti ini, tak akan berubah layaknya adagium, pemakai menjadi pecandu, pecandu menjadi pengedar, pengedar melambung hingga menjadi mafia. Atau, sekadar anak bola berubah menjadi perampok bahkan pembunuh, pemerkosa sekaligus. Ditangkap sebagai penganut paham radikal, keluar menjadi pimpinan teroris sungguhan. Penjara-penjara tempat Buya Hamka ditahan, termasuk Sayyid Quthb dan Ibnu Taimiyah adalah penjara politik mempertahankan keyakinan, bukan penjara kriminal atau koruptor.

Penjara-penjara seperti ini, yang tiap tahun minta ditambah anggarannya, direhab tiap sebentar, bahkan ditambah bangunannya, memang penyakit. Soalnya, mereka yang ada di dalam penjara itu tahu persis bahwa orang di luar penjara banyak yang lebih bejat kelakuannya ketimbang dirinya atau apa yang telah dilakukannya. Makanya, karya yang dihasilkan juga kurang lebih persis sama dengan apa yang diperbuat dulu. Bahkan, lebih meningkat lagi. Amarah dan dendam yang berantai panjang dan tak berujung.

Terima kasih telah membaca artikel tentang Penjara dan Karya di blog Tadabbur Kubur Takabbur jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :

  • Awas Radikalisme Sekuler
  • Apa Benar Umat Islam Tidak Lagi Umat Pemaaf?
  • PUASA RAJAB
  • KESALAHAN LOGIKA
  • AL-GHAZALI, PERANG SALIB, DAN KEBANGKITAN ISLAM
  • Memilih Takdir Kepemimpinan (Taushiyah Ustad Anis Matta pada Rakernas KA-KAMMI)
  • INDAHNYA TAGHOFUL
  • CARA MENGHILANGKAN EGO (KE-AKU-AN)
  • Sembilan Adab Menjadi Orang Kaya
  • Pahlawan Kaum Muslimin
  • Artikel terkait :

    Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com