Memang baik jadi orang penting, tapi lebih penting jadi orang baik. (It is nice to be important, but it is more important to be nice)
Perkataan ini dulu dipopulerkan oleh alm. Kang Ebet Kadarusman di acara Salam Canda yang disiarkan oleh RCTI. Secara garis besar beliau mendukung upaya untuk menjadi orang penting, berpengaruh, dan menguasai hajat hidup orang banyak. Namun di sisi lain beliau mengingatkan bahwa menjadi orang baik di skala pribadi dan sosial memiliki skala prioritas yang lebih tinggi. Idealnya sebelum seorang individu menjadi orang penting, ia harus lebih dulu menjadi orang baik. Ketika orang baik memimpin, maka kebaikan yang ia miliki akan meningkatkan kualitas kepemimpinannya.
Ketika para Nabi berdakwah tidak terkecuali Nabi Muhammad SAW, mereka memiliki prioritas. Orang2 yang pertama kali didekati adalah orang-orang baik dan penting atau minimal memiliki potensi untuk menjadi orang penting di kemudian hari, dan terutama yang memiliki kedekatan kekerabatan dan pertemanan dengan Beliau SAW. Nama2 seperti Khadijah binti Khuwailid al Asady, Abu Bakar ash Shiddiq, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam adalah di antaranya. Mereka adalah hawariyyun di masa Nabi Muhammad, asabiqunal awwalun begitu bahasa al Quran. Mereka adalah orang-orang terdepan dalam membela dan memperjuangkan dakwah dengan jiwa dan harta ketika yang lain memilih untuk tidur dan sebagiannya menentangnya. Sebagian besarnya menjadi orang-orang yang dijamin masuk surga, baik karena termasuk 10 orang sahabat yang dijamin masuk, bisa juga asbab ikut perang Badar atau sebab-sebab yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak pernah meninggalkan peluang untukk berbuat kebajikan.
Prioritas kedua adalah orang penting yang ada kemungkinan untuk menjadi orang baik. Permasalahan terbesar adalah orang2 dari kelompok ini memiliki resistensi yang tinggi akibat berbagai akses kepada kenikmatan dunia dan kemuliaan status sosial. Hal ini pernah dialami sendiri oleh Rasulullah SAW ketika berdakwah pada al Walid bin Mughirah. Secara pribadi hati beliau sudah luluh dengan Islam, namun kemuliaan di tengah kaumnya menjadi handicap terbesarnya.
Kisah ini diangkat dari kitab Shahihus-Siratin-Nabawiyyah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hlm. 158-163
PERSAKSIAN AL WALID BIN AL MUGHIRAH
Ishaq bin Rahawaih meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu 'Abbas, bahwa al Walid bin al Mughirah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang kemudian oleh Rasulullah dibacakanlah al Qur`an kepadanya. Begitu mendengarnya, seakan-akan al Walid bersimpati padanya. Hingga akhirnya berita ini pun sampai ke telinga Abu Jahal. Maka, Abu Jahal pun mendatangi al Walid seraya berseru:
“Wahai, paman. Kaummu ingin mengumpulkan harta untukmu!”
Al Walid bertanya,"Untuk apa?”
Abu Jahal menjawab,"Untuk diberikan kepadamu, karena engkau telah mendatangi Muhammad. Maka sungguh dakwahnya pasti akan terhalang.”
Al Walid berkata,"Kaum Quraisy sudah mengetahui, bahwa aku termasuk yang paling banyak hartanya.”
Abu Jahal menimpali,"Ucapkanlah tentangnya suatu ucapan yang menjelaskan kepada kaummu, bahwa engkau mengingkarinya.”
Dia (al Walid) bertanya,"Apa yang harus saya katakan? Demi Allah, tidak ada seorangpun di antara kalian yang lebih faham dariku tentang syi’ir-syi’ir. Tidak ada yang lebih faham dariku tentang rajaznya (irama sajak) juga qasidahnya, juga syi’ir jin. Demi Allah, perkataannya sama sekali tidak menyerupai semuai. Demi Allah, ucapan yang diucapkannya itu enak didengar dan indah. Sesungguhnya perkataannya itu, bagian atasnya berbuah dan bagian bawahnya (akarnya) banyak airnya. Ucapannya itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya, serta bisa menghancurkan semua yang berada di bawahnya.”
Abu Jahal berujar,"Kaummu tidak akan senang sampai engkau mengatakan sesuatu tentang al Qur`an.”
Al Walid menimpali,"Biarkan aku berpikir!” (Sehingga) setelah berpikir keras, dia pun berkata: “Ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari dari orang lain," maka turunlah ayat :
ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا ﴿١١﴾ وَجَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَمْدُودًا ﴿١٢﴾ وَبَنِينَ شُهُودًا
Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian. Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak, dan anak-anak yang selalu bersama dia. [al Muddatstsir/74 : 11-13].
Demikianlah kisah yang diriwayatkan oleh al Baihaqi dari al Hakim dari Ishaq [1]. Riwayat ini juga dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir dalam al Bidayah wan-Nihayah.[2]
PERSAKSIAN AL WALID BIN AL MUGHIRAH
Ishaq bin Rahawaih meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu 'Abbas, bahwa al Walid bin al Mughirah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang kemudian oleh Rasulullah dibacakanlah al Qur`an kepadanya. Begitu mendengarnya, seakan-akan al Walid bersimpati padanya. Hingga akhirnya berita ini pun sampai ke telinga Abu Jahal. Maka, Abu Jahal pun mendatangi al Walid seraya berseru:
“Wahai, paman. Kaummu ingin mengumpulkan harta untukmu!”
Al Walid bertanya,"Untuk apa?”
Abu Jahal menjawab,"Untuk diberikan kepadamu, karena engkau telah mendatangi Muhammad. Maka sungguh dakwahnya pasti akan terhalang.”
Al Walid berkata,"Kaum Quraisy sudah mengetahui, bahwa aku termasuk yang paling banyak hartanya.”
Abu Jahal menimpali,"Ucapkanlah tentangnya suatu ucapan yang menjelaskan kepada kaummu, bahwa engkau mengingkarinya.”
Dia (al Walid) bertanya,"Apa yang harus saya katakan? Demi Allah, tidak ada seorangpun di antara kalian yang lebih faham dariku tentang syi’ir-syi’ir. Tidak ada yang lebih faham dariku tentang rajaznya (irama sajak) juga qasidahnya, juga syi’ir jin. Demi Allah, perkataannya sama sekali tidak menyerupai semuai. Demi Allah, ucapan yang diucapkannya itu enak didengar dan indah. Sesungguhnya perkataannya itu, bagian atasnya berbuah dan bagian bawahnya (akarnya) banyak airnya. Ucapannya itu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya, serta bisa menghancurkan semua yang berada di bawahnya.”
Abu Jahal berujar,"Kaummu tidak akan senang sampai engkau mengatakan sesuatu tentang al Qur`an.”
Al Walid menimpali,"Biarkan aku berpikir!” (Sehingga) setelah berpikir keras, dia pun berkata: “Ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari dari orang lain," maka turunlah ayat :
ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا ﴿١١﴾ وَجَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَمْدُودًا ﴿١٢﴾ وَبَنِينَ شُهُودًا
Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian. Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak, dan anak-anak yang selalu bersama dia. [al Muddatstsir/74 : 11-13].
Demikianlah kisah yang diriwayatkan oleh al Baihaqi dari al Hakim dari Ishaq [1]. Riwayat ini juga dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir dalam al Bidayah wan-Nihayah.[2]
(sumber: http://almanhaj.or.id/content/1256/slash/0/kesombongan-menghalangi-hidayah/ )
Abu Sufyan dan Hindun pun sebenarnya telah jauh-jauh hari mengakui kebenaran Islam, namun baru bisa melepas egonya saat penaklukan kota Makkah, di mana gengsi kafir Quraisy berada di titik nadir. Berikut petikan kisah yang menggambarkan bagaimana sulitnya proses Islamnya Abu Sufyan yang sangat berbelit-belit.
Ibnu Ishaq berkata, "Diriwayatkan dari Abbas tentang rincian Islamnya Abu sufyan 'Keesokan harinya, aku bawa Abu Sufyan menghadap Rasulullah SAW. Setelah melihatnya, Rasulullah SAW berkata, 'Celaka engkau, wahai Abu Sufyan. Tidakkah tiba saatnya bagi anda untuk mengetahui sesungguhnya tidak ada ilah kecuali Allah?' Abu Sufyan menyahut, 'Alangkah penyantunnya engkau, alangkah mulianya engkau, dan alangkah baiknya engkau! Demi Allah aku telah yakin seandainya ada ilah selain Allah niscaa dia telah membelaku'. Nabi SAW bertanya lagi, 'Tidakkah ttiba saatnya bagi anda untuk mengetahui bahwa aku adalah Rasul Allah?' Abu Sufyan menjawab, 'Sungguh, engkau sangat penyantun, pemurah dan suka menyambung keluarga. Demi Allah, mengenai hal yang satu ini, sampai sekarang di dalam hatiku masih ada sesuatu yang mengganjal.' Abbas ra. menukas, 'Celaka! Masuk Islamlah dan bersaksilah tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah sebelum lehermu dipenggal.' Abu Sufyan kemudian mengucapkan syahadah dengan benar dan masuk Islam.
Abbas ra melanjutkan, 'Kemudian aku katakan, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang menyukai kebanggaan diri. Karena itu, buatlah sesuatu kebanggaan untuk dirinya.' Nabi SAW menjawab, 'Ya. Barangsiapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan maka ia selamat. Barangsiapa yang menutup pintu rumahnya maka ia selamat. Dan barangsiapa yang masuk ke dalam Masjidil Haram maka ia selamat.'
Ketika Rasulullah SAW hendak bergerak menuju Makkah, beliau berkata kepada Abbas ra, "Tahanlah Abu Sufyan di mulut lembah sampai ia menyaksikan tentara-tentara Allah lewat di depannya." Abbas melanjutkan kisahnya, "KEmudian aku tahan Abu Sufyan di tempat yang diperintahkan Rasulullah SAW. Tak lama kemudian pasukan muslimin bergerak melalui jalan itu, kabilah demi kabilah dengan panjinya masing-masing. Setiap melihat kabilah lewat, Abu Sufyan bertanya, 'Hai Abbas, siapakah ini?' Jawabku, 'Kabilah Sulaim.' Ia menyahut, 'Ah aku tidak mempunyai urusan dengan kabilah Sulaim!'
Begitulah seterusnya sampai Rasulullah SAW lewat di tengah-tengah pasukan yang terdiri atas kaum muhajirin dan anshar. Ia menatap satu per satu dengan penuh kekaguman. Ia bertanya, 'Subhanallah, hai Abbas, siapakah mereka itu?' Kujawab, 'Itulah Rasulullah SAW di tengah-tengah kaum muhajirin dan anshar....' Ia berkata, 'Tak ada orang dan kekuatan yang sanggup menandingi mereka! Demi Allah, hai Abul Fadhl, kemenakanmu kelak akan menjadi maharaja besar....' Aku menjawab, 'Hai Abu Sufyan, itu bukan kerajaan, melainkan kenabian.' Ia menjawab, 'Kalau begitu, alangkah mulianya.
(diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Jurair. Bukhari juga meriwayatkan hadits serupa dengannya. Disalin dari kitab Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW. karya Dr.Muhammad Sa'id Ramadhan al Buthy, halaman 389-390. Penerbit Robbani Press. 1999.)
Ibnu Ishaq berkata, "Diriwayatkan dari Abbas tentang rincian Islamnya Abu sufyan 'Keesokan harinya, aku bawa Abu Sufyan menghadap Rasulullah SAW. Setelah melihatnya, Rasulullah SAW berkata, 'Celaka engkau, wahai Abu Sufyan. Tidakkah tiba saatnya bagi anda untuk mengetahui sesungguhnya tidak ada ilah kecuali Allah?' Abu Sufyan menyahut, 'Alangkah penyantunnya engkau, alangkah mulianya engkau, dan alangkah baiknya engkau! Demi Allah aku telah yakin seandainya ada ilah selain Allah niscaa dia telah membelaku'. Nabi SAW bertanya lagi, 'Tidakkah ttiba saatnya bagi anda untuk mengetahui bahwa aku adalah Rasul Allah?' Abu Sufyan menjawab, 'Sungguh, engkau sangat penyantun, pemurah dan suka menyambung keluarga. Demi Allah, mengenai hal yang satu ini, sampai sekarang di dalam hatiku masih ada sesuatu yang mengganjal.' Abbas ra. menukas, 'Celaka! Masuk Islamlah dan bersaksilah tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah sebelum lehermu dipenggal.' Abu Sufyan kemudian mengucapkan syahadah dengan benar dan masuk Islam.
Abbas ra melanjutkan, 'Kemudian aku katakan, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang menyukai kebanggaan diri. Karena itu, buatlah sesuatu kebanggaan untuk dirinya.' Nabi SAW menjawab, 'Ya. Barangsiapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan maka ia selamat. Barangsiapa yang menutup pintu rumahnya maka ia selamat. Dan barangsiapa yang masuk ke dalam Masjidil Haram maka ia selamat.'
Ketika Rasulullah SAW hendak bergerak menuju Makkah, beliau berkata kepada Abbas ra, "Tahanlah Abu Sufyan di mulut lembah sampai ia menyaksikan tentara-tentara Allah lewat di depannya." Abbas melanjutkan kisahnya, "KEmudian aku tahan Abu Sufyan di tempat yang diperintahkan Rasulullah SAW. Tak lama kemudian pasukan muslimin bergerak melalui jalan itu, kabilah demi kabilah dengan panjinya masing-masing. Setiap melihat kabilah lewat, Abu Sufyan bertanya, 'Hai Abbas, siapakah ini?' Jawabku, 'Kabilah Sulaim.' Ia menyahut, 'Ah aku tidak mempunyai urusan dengan kabilah Sulaim!'
Begitulah seterusnya sampai Rasulullah SAW lewat di tengah-tengah pasukan yang terdiri atas kaum muhajirin dan anshar. Ia menatap satu per satu dengan penuh kekaguman. Ia bertanya, 'Subhanallah, hai Abbas, siapakah mereka itu?' Kujawab, 'Itulah Rasulullah SAW di tengah-tengah kaum muhajirin dan anshar....' Ia berkata, 'Tak ada orang dan kekuatan yang sanggup menandingi mereka! Demi Allah, hai Abul Fadhl, kemenakanmu kelak akan menjadi maharaja besar....' Aku menjawab, 'Hai Abu Sufyan, itu bukan kerajaan, melainkan kenabian.' Ia menjawab, 'Kalau begitu, alangkah mulianya.
(diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Jurair. Bukhari juga meriwayatkan hadits serupa dengannya. Disalin dari kitab Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW. karya Dr.Muhammad Sa'id Ramadhan al Buthy, halaman 389-390. Penerbit Robbani Press. 1999.)
Kalangan ini tidak dapat dipandang sebelah mata, karena tabiat dan kemampuan mereka dalam menciptakan berbagai halangan dan cobaan dalam dakwah. Di sisi lain mereka dapt mempermudah dakwah, seperti yang terlihat peristiwa Islamnya Juwairiyyah binti Harits yang merupakan isteri Rasulullah dari bani Musthaliq. Setelah Juwairiyyah masuk islam, seluruh kaumnya masuk Islam.
Surat Abasa adalah contoh dakwah yang dilakukan Rasulullah untuk kaum elit ini. Wajah beliau yang mulia sampai berubah masam ketika sedang sibuk dakwah pada kaum elit ini, tiba-tiba seorang buta minta didakwahi pula. Dakwah yang beliau lakukan pada kaum elit adalah suatu keharusan, namun berwajah masamnya beliau ini ditegur keras oleh Allah SWT dan sekaligus mengabadikan surat teguran ini dengan nama Abasa (dia yang bermuka masam). Dakwah elitis? Apapun namanya secara faktual merekalah yang berkuasa dan memiliki akses ekonomi, sosial, politik dan militer. Amat bodoh jika dakwah meninggal kaum elit yang jika kebaikan ada pada mereka maka rakyat akan diuntungkan dengan hadirnya ajaran tauhid dan kemaslahatan lain yang lain karena ditegakkannya hukum Allah di tengah-tengah mereka.
Sebab turunnya surat ini –sebagaiamana disepakati oleh para mufassir- adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu 'anhaa:
أُنْزِلَ عَبَسَ وَتَوَلَّى فِي ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ الأَعْمَى أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَعَلَ يَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرْشِدْنِي، وَعِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ عُظَمَاءِ الْمُشْرِكِيْنَ فَجَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْرِضُ عَنْهُ وَيُقْبِلُ عَلَى الآخَرِ وَيَقُوْلُ أَتَرَى بِمَا أَقُوْلُ بَأْسًا فَيَقُوْلُ لاَ فَفِي هَذَا أُنْزِلَ
"Diturunkan surat 'Abasa wa Tawallaa' tentang Ibnu Ummi Maktum yang buta, ia mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata : "Wahai Rasulullah berilah pengarahan/petunjuk kepadaku". Dan di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ada seseorang dari para pembesar kaum musyrikin. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallampun berpaling dari Ibnu Ummi Maktum dan berbalik ke arah lelaki (musyrik) tersebut dan berkata : "Apakah menurutmu apa yang aku katakan (sampaikan kepadamu tentang dakwah tauhid-pen) baik?", maka lelaki pembesar musyrik tersebut berkata : "Tidak". Karena inilah turun surat 'Abasa." (HR At-Tirmidzi no 2651 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa para pembesar musyrikin yang sedang didakwahi oleh Nabi tersebut adalah Utbah bin Robi'ah, Abu Jahl bin Hisyaam, Ummayyah bin Kholaf dan Ubay bin Kholaf. Nabi mendakwahi mereka dan mengharapkan keislaman mereka (Lihat Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi pada tafsir surat 'Abasa)
Syaikh Al-'Utsaimin berkata : "Dan tentunya diketahui bahwasanya jika para pembesar dan orang-orang yang dihormati dan dimuliakan masuk Islam maka hal ini merupakan sebab Islamnya orang-orang yang berada dibawah kekuasaan mereka. Karenanya Nabi sangat ingin agar mereka masuk Islam. Lalu datanglah sahabat yang buta ini bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka (para ahli tafsir-pen) menyebutkan bahwa ia berkata : "Ajarkanlah aku dari apa yang Allah ajarkan kepadamu". Dan ia meminta Nabi membaca Al-Qur'an untuknya. Maka Nabipun berpaling darinya dan bermuka masam karena berharap para pembesar musyrikin tersebut masuk Isalm. Seakan-akan beliau khawatir bahwasanya para pembesar tersebut akan merendahkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam jika beliau berpaling dari para pembesar tersebut dan mengarahkan wajahnya kepada sahabat yang buta itu. Hal ini sebagaimana perkataan kaum Nuh:
وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا
"Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami" (QS Huud : 27).
Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tatkala bermuka masam dan berpaling dari sahabat yang buta tersebut, beliau memperhatikan dua perkara ini :
Pertama : Berharap para pembesar tersebut masuk Islam
Kedua : Agar mereka tidak merendahkan dan menghina Nabi shallallahu 'alaihi wasallam jika beliau menoleh ke orang buta tersebut yang di mata mereka adalah orang hina.
Tentunya tidak diragukan bahwa ini adalah ijtihad dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan bukan merendahkan Ibnu Ummi Maktum. Karena kita mengetahui bahwasanya tidak ada yang menyibukkan Nabi kecuali agar tersebar dakwah Al-Haq di antara hamba-hamba Allah, dan seluruh manusia di sisi beliau adalah sama, bahkan orang yang lebih semangat kepada Islam maka lebih beliau cintai. Inilah yang kita yakini pada diri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam" (Tafsiir Juz 'Amma)
(sumber: http://www.firanda.com/index.php/artikel/tafsir/598-10-faedah-dari-10-ayat-surat-abasa )
Sebab turunnya surat ini –sebagaiamana disepakati oleh para mufassir- adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu 'anhaa:
أُنْزِلَ عَبَسَ وَتَوَلَّى فِي ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ الأَعْمَى أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَعَلَ يَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرْشِدْنِي، وَعِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ عُظَمَاءِ الْمُشْرِكِيْنَ فَجَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْرِضُ عَنْهُ وَيُقْبِلُ عَلَى الآخَرِ وَيَقُوْلُ أَتَرَى بِمَا أَقُوْلُ بَأْسًا فَيَقُوْلُ لاَ فَفِي هَذَا أُنْزِلَ
"Diturunkan surat 'Abasa wa Tawallaa' tentang Ibnu Ummi Maktum yang buta, ia mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata : "Wahai Rasulullah berilah pengarahan/petunjuk kepadaku". Dan di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ada seseorang dari para pembesar kaum musyrikin. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallampun berpaling dari Ibnu Ummi Maktum dan berbalik ke arah lelaki (musyrik) tersebut dan berkata : "Apakah menurutmu apa yang aku katakan (sampaikan kepadamu tentang dakwah tauhid-pen) baik?", maka lelaki pembesar musyrik tersebut berkata : "Tidak". Karena inilah turun surat 'Abasa." (HR At-Tirmidzi no 2651 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa para pembesar musyrikin yang sedang didakwahi oleh Nabi tersebut adalah Utbah bin Robi'ah, Abu Jahl bin Hisyaam, Ummayyah bin Kholaf dan Ubay bin Kholaf. Nabi mendakwahi mereka dan mengharapkan keislaman mereka (Lihat Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi pada tafsir surat 'Abasa)
Syaikh Al-'Utsaimin berkata : "Dan tentunya diketahui bahwasanya jika para pembesar dan orang-orang yang dihormati dan dimuliakan masuk Islam maka hal ini merupakan sebab Islamnya orang-orang yang berada dibawah kekuasaan mereka. Karenanya Nabi sangat ingin agar mereka masuk Islam. Lalu datanglah sahabat yang buta ini bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka (para ahli tafsir-pen) menyebutkan bahwa ia berkata : "Ajarkanlah aku dari apa yang Allah ajarkan kepadamu". Dan ia meminta Nabi membaca Al-Qur'an untuknya. Maka Nabipun berpaling darinya dan bermuka masam karena berharap para pembesar musyrikin tersebut masuk Isalm. Seakan-akan beliau khawatir bahwasanya para pembesar tersebut akan merendahkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam jika beliau berpaling dari para pembesar tersebut dan mengarahkan wajahnya kepada sahabat yang buta itu. Hal ini sebagaimana perkataan kaum Nuh:
وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا
"Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami" (QS Huud : 27).
Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tatkala bermuka masam dan berpaling dari sahabat yang buta tersebut, beliau memperhatikan dua perkara ini :
Pertama : Berharap para pembesar tersebut masuk Islam
Kedua : Agar mereka tidak merendahkan dan menghina Nabi shallallahu 'alaihi wasallam jika beliau menoleh ke orang buta tersebut yang di mata mereka adalah orang hina.
Tentunya tidak diragukan bahwa ini adalah ijtihad dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan bukan merendahkan Ibnu Ummi Maktum. Karena kita mengetahui bahwasanya tidak ada yang menyibukkan Nabi kecuali agar tersebar dakwah Al-Haq di antara hamba-hamba Allah, dan seluruh manusia di sisi beliau adalah sama, bahkan orang yang lebih semangat kepada Islam maka lebih beliau cintai. Inilah yang kita yakini pada diri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam" (Tafsiir Juz 'Amma)
(sumber: http://www.firanda.com/index.php/artikel/tafsir/598-10-faedah-dari-10-ayat-surat-abasa )
Prioritas ketiga adalah orang2 baik atau berpotensi menjadi baik namun secara strata sosial bukan orang penting. Ada di barisan ini adalah orang lemah dan para budak, seperti Bilal bin Rabah, Khabbab bin al Art ra. Dalam piramida kelas masyarakat, mereka menempati jumlah terbanyak. Mediocare. Orang biasa-biasa saja yang ingin hidup tenang dan nyaman tanpa harus dibebani oleh urusan pemerintahan. Jika tanpa halangan dari orang penting, maka kaum ini mendapat prioritas lebih tinggi daripada kaum elit.
Dalam banyak hal orang-orang seperti inilah yang amat diandalkan baik dalam menyebarkan maupun mempertahankan Islam. 10.000 pasukan yang dibawa Rasulullah SAW saat Fathu Makkah dan Perang Hunain serta 30.000 pasukan saat Perang Tabuk bukanlah jumlah sedikit. Apakah seluruh orang itu adalah orang penting di kaumnya? Mereka adalah mediocare beriman yang memiliki cita-cita tinggi, yaitu memasuki surga dengan ridho dari Rabb mereka. Mereka amat menyadari bahwa standar kemuliaan mutlak adalah taqwa. Bukan melimpahnya kekayaan dan kekuasaann yang membentang dari timur ke barat. Apakah salah menjadi orang baik yang tidak penting namun beriman dan beramal?
Namun alangkah baiknya jika orang-orang baik yang tidak penting ini menjadi orang-orang penting. Adalah tugas dakwah untuk membuka cakrawala berfikir mereka bahwa jika posisi penting dikuasai oleh orang yang tidak baik maka akan ada banyak kerusakan. Dan dibutuhkan amal jama'i yang rapi untuk mendudukkan orang-orang baik menjadi orang-orang penting. Perlu kita ketahui bahwa Rasulullah SAW mengangkat Bilal bin Rabah ra sebagai penanggung jawab Baitul Maal. Rasulullah SAW lebih memilih seorang mantan budak yang beriman di masa-masa awal untuk memegang posisi strategis daripada memilih kerabatnya sendiri. Padahal saat itu masih ada Ali bin Abi Thalib yang terkenal bukan hanya karena kecerdasan dan sifat amanahnya, namun beliau adalah sepupu dan juga menantu beliau. Apakah Ali tidak kompeten? Tentu saja tidak. Beliau menunjukkan siapapun bisa menjadi orang penting selama beriman dan amanah.
Dalam banyak hal orang-orang seperti inilah yang amat diandalkan baik dalam menyebarkan maupun mempertahankan Islam. 10.000 pasukan yang dibawa Rasulullah SAW saat Fathu Makkah dan Perang Hunain serta 30.000 pasukan saat Perang Tabuk bukanlah jumlah sedikit. Apakah seluruh orang itu adalah orang penting di kaumnya? Mereka adalah mediocare beriman yang memiliki cita-cita tinggi, yaitu memasuki surga dengan ridho dari Rabb mereka. Mereka amat menyadari bahwa standar kemuliaan mutlak adalah taqwa. Bukan melimpahnya kekayaan dan kekuasaann yang membentang dari timur ke barat. Apakah salah menjadi orang baik yang tidak penting namun beriman dan beramal?
Namun alangkah baiknya jika orang-orang baik yang tidak penting ini menjadi orang-orang penting. Adalah tugas dakwah untuk membuka cakrawala berfikir mereka bahwa jika posisi penting dikuasai oleh orang yang tidak baik maka akan ada banyak kerusakan. Dan dibutuhkan amal jama'i yang rapi untuk mendudukkan orang-orang baik menjadi orang-orang penting. Perlu kita ketahui bahwa Rasulullah SAW mengangkat Bilal bin Rabah ra sebagai penanggung jawab Baitul Maal. Rasulullah SAW lebih memilih seorang mantan budak yang beriman di masa-masa awal untuk memegang posisi strategis daripada memilih kerabatnya sendiri. Padahal saat itu masih ada Ali bin Abi Thalib yang terkenal bukan hanya karena kecerdasan dan sifat amanahnya, namun beliau adalah sepupu dan juga menantu beliau. Apakah Ali tidak kompeten? Tentu saja tidak. Beliau menunjukkan siapapun bisa menjadi orang penting selama beriman dan amanah.
Prioritas terakhir adalah orang-orang yang tidak baik dan juga tidak penting. Mereka lah yang dikenal dengan para penjahat atau preman. Jumlah merela tidaklah banyak, namun mereka memiliki skill intimidasi disertai kenekadan tingkat tinggi. Apakah yang menjadi prioritas dakwah bagi mereka? Jadi orang baik atau jadi penting? Mereka mutlak jadi orang baik dulu walau tidak menjadi orang penting. Daripada mereka menjadi orang penting namun tetap jadi penjahat. Jika mereka tidak kunjung berubah, maka tugas dakwah adalah memastikan mereka tidak membuat kerugian dan kerusakan bagi masyarakat dan sarana publik. Jika orang baik bisa menjadi orang penting, golongan ini harus diinapkan di penjara agar tidak berbuat kerusakan dan menularkan kerusakannya pada orang lain.
Alasan terbesar kenapa golongan ini terakhir didekati adalah karena pertama jumlah mereka yang minoritas. Hanya sedikit manusia yang mau hidup tidak normal sebagai penjahat. Kedua, karena golongan ini tidak memiliki cita2 yang tinggi. Memang tugas dakwah membuat mereka memiliki cita2 yang tinggi. Namun jika ada yang lebih berpotensi mengapa harus mereka lebih dulu? Orang baik memiliki cita2 mulia masuk surga. Apa lagi cita2 tertinggi selain itu? Sedangkan orang penting yang tidak baik memiliki obsesi kekayaan dan kekuasaan. Pencapaian tertinggi di dunia. Cita2 yang tinggi di dunia dan akhirat adalah kunci mengapa dakwah memiliki prioritas. Bandingkan dengan manusia-manusia yang tidak memiliki obsesi akhirat dan tidak mempunyai cita-cita dunia selain keburukan? Apa yang dapat diharapkan oleh manusia macam ini kecuali mereka mengurangi gangguannya pada manusia yang lain...?
Pertanyaannya, kita ada di posisi mana?
Terima kasih telah membaca artikel tentang Orang Baik dan Orang Penting di blog Tadabbur Kubur Takabbur jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.