Adalah Usamah bin Zaid bin Haritsah diperintah oleh Rasulullah SAW untuk mendatangi medan pertempuran di mana Sang Ayah Zaid bin Haritsah menemui Rabb nya sebagai syahid.. daerah itu dikenal dengan Mu'tah. Daerah yang menjadi saksi pertempuran fenomenal di mana 3000 pasukan kaum muslimin harus berhadapan dengan 240.000 pasukan Romawi. Hasilnya? Sama-sama mundur, tidak ada yang kalah dan menang secara kasat mata, namun perang itu adalah nostalgia kekalahan Romawi pada perang Tabuk. Tidak ada yang kalah dan menang, namun itu sudah merupakan peringatan besar bagi Romawi agar berhati-hati mengelola konflik dengan kaum muslimin jika tidak ingin dipermalukan lagi. Dalam perang Tabuk, Heraklius yang seorang nasrani mengetahui bahwa Rasulullah adalah nabi terakhir dan tidak mungkin ia memenangkan peperangan yang dipimpin oleh seorang Nabi. Namun di satu sisi jika ia tidak menunjukkan taring, maka Romawi sudah tidak memiliki wibawa di timur tengah. Maka dengan logika theologi ini beliau membawa 200.000 pasukan, tapi tidak untuk berperang tapi lebih untuk show of force pada rakyat dan para sekutunya bahwa ia layak untuk disegani. Walaupun kemudian ia lebih memilih untuk mundur karena pengetahuannya akan nubuwwah dalam injil bahwa tidak ada cerita menang melawan seorang nabi.
Padang Mu'tah berbeda, Sang Nabi tidaka hadir, di situ lah mungkin ada peluang meraih kemenangan. Namun apa lacur, pasukan yang dihadapi lebih suka mati daripada hidup. 240.000 pasukan tidak bisa berbuat banyak menghadapi 3000 pasukan. Walaupun Sang Nabi harus kehilangan anak angkat tercinta yaitu Zaid bin Haritsah kehilangan pula sepupu tercinta, Ja'far bin Abi Thalib dan juga berpisah dengan kebanggaan kaum anshar Abdullah bin Rawahah ridhwanallahu 'alaihim yang wafat sebagai syuhada' di medan pertempuran nan dahsyat. Di tengah-tengah kehilangan pemimpin, muncullah seorang yang bergelar Saifullah al Maslul atau Pedang Allah yang terhunus.. Khalid bin Walid, manusia yang tidak pernah kalah perang dalam karir kemiliterannya. Hasilnya? Beliau bertaktik, pasukan sebelah kanan ditukar kiri dan sebaliknya, pasukan di depan ditukar ke belakang, seolah-olah ada penambahan pasukan baru. Orang-orang Romawi yang memuja kenikmatan dunia berfikir, yg segini aja gak bisa menang apalagi kalau bala bantuan tiba? Akhirnya perang berhenti dan masing-masing pulang kampung. Dengan pelajaran besar bagi kedua pasukan, bahwa hadir tidaknya seorang Nabi bukanlah faktor penentu kemenangan. Tambahan semangat untuk kaum muslimin, pukulan telak untuk para Romawi dan isyarat pula bahwa Sang Nabi akan segera mangkat.
Setelah percobaan ini berhasil, Rasulullah masih punya agenda lain, yaitu usia bukanlah faktor penentu untuk menjadi pemimpin, diangkatlah Usamah bin Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang di usianya yang masih sangat muda.. 17 tahun. Di saat anak-anak seusia itu di masa sekarang baru senang bisa nonton film dewasa, Usamah sudah bisa memimpin pasukan. Namun saat pasukan yang dipimpin Usamah baru mencapai gerbang kota madinah, ada kabar kesehatan Rasulullah SAW memburuk. Usamah memerintahkan agar pasukan berkemah di sana menunggu perkembangan berikut. Ternyata tidak lama kemudian Sang Nabi akhir zaman meninggal dunia.
Umat Islam bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar ash Shiddiq radhiyallahu ta'ala 'anhu sebagai khalifah pengganti Rasulullah SAW. Suatu proses yang luar biasa karena Abu Bakar membawa dua orang untuk menjadi khalifah yaitu Umar bin Khatthab al Faruq yang dikatakan oleh beliau farraqallahu bainal haqqi wal bathil dan Abu Ubaidah bin Jarrah al aminu hadzihil ummah. Namun kedua orang ini pula yang pertama kali membai'at Abu Bakar ash Shiddiq ra.
Keputusan politik apa yang pertama kali dilakukan Abu Bakar? Mengirim kembali pasukan Usamah bin Zaid. Karena Rasulullah SAW sudah tiada maka siapapun dari kalangan sahabat boleh berbicara untuk memberi masukan. Rata-rata sahabat tidak menyetujui pengiriman pasukan, alasannya 2:
1. Pasukan untuk menjaga pertahanan dalam negeri saja sudah kurang.
2. Usamah bin Zaid masih bocah.
Namun Abu Bakar tetap pada putusannya, pasukan tetap dikirim dan Usamah tetap menjadi panglima perang. Usamah pulang membawa kemenangan dan itu membawa 2 poin penting:
1. Umat Islam masih solid walau baru saja ditinggalkan Sang Nabi, masih bisa kirim pasukan. Ini menjadi faktor detterence yang membuat merinding suku-suku yang punya pikiran untuk memberontak dan membuat kekuatan-kekuatan besar dunia berfikir dua kali kalau hendak berkonflik dengan kaum muslimin.
2. Usia bukan faktor penentu kemenangan, kedewasaan dan kecerdasan. Umat ini selalu siap dipimpin orang tua macam Abu Bakar ash Shiddiq ra, namun tidak menolak dipimpin bocah seperti Usamah.
Tidak ada yang tidak sepakat dengan kepemimpinan Abu Bakar, beliau dengan segudang kearifan, pengalaman sebagai orang pertama dari kalangan laki-laki dewasa yang menerima dakwah Rasulullah dan berjuang bersama beliau dengan harta dan jiwa, juga status sosial baik sebagai ketua suku bani Taim dan sebagai mertua Rasulullah SAW, tidak ada yang berani bersaing dengan beliau. Diajukan nama beliau, seluruh nama tenggelam dan malu berhadapan dengan beliau.
Tapi begitu diajukan nama Usamah bin Zaid..? Siapa bocah ini? Ada ribuan orang yang mungkin merasa lebih baik dan layak menjadi pemimpin dibanding beliau. Walaupun ayahnya adalah mantan anak angkat Rasulullah SAW dan bahkan pernah menjadi suami sepupu Rasulullah SAW yaitu Zainab binti Jahsy yang kemudian diperistri oleh Rasulullah SAW, namun tetap Zaid adalah mantan budak. Secara sosial Usamah bukan siapa-siapa, dan itu terbukti dengan adanya penolakan dari sebagian sahabat untuk dipimpin oleh Usamah di medan pertempuran. Masih banyak sahabat yang layak jadi panglima, di situ ada Zubair bin Awam, Thalhah bin Ubaidillah, Sa'ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Jarrah yang terkenal tukang perang dan masih masuk dalam 10 orang sahabat yang dijamin masuk surga. Belum lagi yang lebih utama dari mereka seperti Umar bin Khatthab dan Ali bin Abi Thalib. Ada lagi nama-nama seperti Khalid bin Walid, Amru bin Ash dll. Penolakan ini bukan saja karena masalah sosial, namun karena secara riil, memang banyak yang jauh lebih kompeten dari Usamah untuk menjadi pemimpin.
Tapi bukan Abu Bakar kalau tidak memiliki keyakinan yang kuat. Di antara keyakinan itu adalah, jangan sampai ketika ia menjadi pemimpin hal pertama yang dilakukannya adalah menyelisihi keputusan yang sudah diambil oleh pemimpin sebelumnya Rasulullah SAW. Jangan sampai ada yurisprudensi dalam umat ini untul menyelisihi pemimpin sebelumnya dalam kebijakan yang tidak mengajak kepada kebathilan, apalagi jika content kebijakan itu adalah kebaikan dan maslahat.
Saya jadi teringat ketika ada penguasa Bani umawi yang mau merubah Ka'bah ke bentuk awalnya, karena Rasulullah SAW pernah bilang ke Aisyah, "Kalau bukan karena kaummu baru saja masuk Islam, akan aku rubah Ka'bah ini sesuai dengan zaman Nabi Ibrahim as." Niat baik ini ditolak oleh Imam Darul Hijrah, al Imam Malik bin Anas guru tercinta dari Imam Muhammad bin Idris as Syafi'i, beliau berkata, "Janganlah engkau jadikan Ka'bah ini permainan untuk penguasa-penguasa setelahmu. Jika engkau rubah, maka penguasa setelahmu akan mengubahnya dan begitu seterusnya." Ucapan beliau ini dituruti Sang Khalifah dan hingga hari ini Ka'bah tidak pernah bergeser dari masa Rasullah, bahkan fondasi Ka'bah tetap diabadikan, namin tetap tidak dibangun. Semoga Allah merahmati Imam Malik.
Untuk kasus pengiriman pasukan kita tahu itu adalah kebaikan seluruhnya, dan tidak ada pembenaran untuk menyelisihinya. Tapi untuk kasus Ka'bah kita melihat "kebaikan niat" Sang Khalifah, namun Imam Malik melihat hal itu lebih banyak mudharat dari pada maslahatnya. Lebih baik tak usah, karena Rasulullah juga tidak melakukannya dan tidak mewasiatkan untuk berbuat seperti itu.
Ikhwan fillah, pemimpin kita tidak maksum seperti Rasulullah dan juga sekualitas Abu Bakar, dan tidak juga di antara kita ada yang seperti para Imam Malik saat menasehati penguasa. Namun yang jelas ada pelajaran besar, bahwa:
1. Umat tidak boleh dibiarkan bingung menghadapi tingkah polah penguasa yang selalu berubah setiap penggantian rezim. Tiap penguasa yang bahkan dalam satu rezim yang sama memiliki ego yang diturunkan dari iblis bahwa ia harus bisa lebih baik dari Adam, walaupun menurut Sang Penguasa Alam ia salah, tapi iblis punya definisi kebaikan dan kebenaran versi dia sendiri. Saat seluruh malaikat memandang bahwa perintah Allah adalah kebaikan dan harus ditaati, maka iblis punya definisi yang berbeda. Sujud adalah tanda pengakuan ketinggian terhadap derajat Adam bukan tanda ketundukan pada Allah. Walhasil definisi yang berbeda ini yang membuat iblis punya aktifitas sendiri sampai akhir zaman yang meyelisihi jalan para Nabi. Jikalau ada pemimpin yang bertasyabbuh pada iblis, obatnya di dunia cuma 2:
Pertama taubat dan menghiasi diri dengan akhlaq mulia terutama tawadhu' dan lemah lembut pada manusia. Jalan ini diambil oleh Adam ketika berbuat maksiat, takut pada Allah, bertobat dan kembali ke jalan Nya walaupun dengan konsekuensi terusir dari surga yang penuh dengan kenikmatan. Peminpin tidak boleh kebal nasehat, karena nasehat adalah kebaikan baik untuk dirinya sendiri maupun untuk umat yang dipimpin. Dan sebaliknya yang menasehati juga harus memakai akhlaq.
Kedua menyumpal mulutnya dengan tanah, alias mati. Seluruh riwayat orang yang sombong seperti Firaun dan Namrud berakhir dengan kematian. Hanya kematian yang dapat menghentikan kesombongannya. Allah SWT selalu memberi kesempatan pada seluruh makhluk yanh sombong untuk berhenti dari kesombongannya pada Firaun dikirimlah Nabi Musa as, untuk Namrud Allah SWT mengirimkan Ibrahim. Bahkan ketika iblis yang sudah jelas penentangannya pada perintahNya saja, Allah masih klarifikasi kenapa ia ingkar. Namun keingkaran iblis yang berdasar pada kesombongan sudah sampai taraf tidak peduli pada diri sendiri, maka tawaran berikutnya ada neraka. Tawaran yang diterima oleh iblis asal bisa ngajak sebanyak-banyak manusia ke sana.
Ketika pemimpin sudah sedemikian pekak nasihat maka yang dapat dilakukan adalah mematikan kekuasaannya. Dan cara yang paling naif adalah menunggu penguasa itu tutup usia.
2. Umat harus dijaga kesatuan dan persatuannya. Hal ini yang membuat Nabi Harun enggan mengambil sikap keras saat sebagian besar Bani Israil menyembah patung sapi karya Samiri. Lebih baik mereka sesat tapi bersatu daripada sesat, berpecah belah dan menumpulkan kemudharatan baru bagi umat yang lain. Tentunya para pemimpin saat ini harua melihat kebaikan pada umat Muhammad ini, yang tidak saja belum sampai menyembah sapi bahkan masih aktif dalam berdakwah. Apakah para pemimpin kita sudah lebih baik dari Nabi Harun dan kita lebih sesat dari Bani Israil penyembah sapi? Maka tolong buatkan bagi kami kebijakaan yang menyatukan kami, bukan membuat kami berpecah belah seperti gelas jatuh ke lantai.
Namun di sisi lain Rasulullah SAW juga berpesan agar kita taat pada pemimpin walaupun dia menzhalimi kita, asalkan.. ia masih shalat. Sekali lagi ini adalah harga dari persatuan, sabar terhadap pengikut dan sabar terhadap kezhaliman pemimpin.
3. Suatu organisasi apakah itu berbentuk RT, ormas, partai atau negara harus memiliki kebijakan strategis yang dapat dipakai untuk periode yang panjang. Karena Allah SWT ketika menciptakan manusia dengan rencana strategis abadi hingga akhir zaman. Kita manusia hanya berusaha membuat rencana yang mendukung tujuan penciptaan manusia, dan yang jelas kesombongan dan maksiat tidak ada di dalam rencana tersebut.
Jika suatu organisasi memiliki kesadaran seperti ini maka tidak ada cerita tentang kebijakan yang ditendang karena dianggap mencoreng kewibawaan penguasa berikut. Seluruh kebijakan yang dibangun atas dasar tauhid dan kemaslahatan harus didukung. Kalaupun mau diganti maka harus dengan yang lebih baik dan sifatnya lebih pada penyempurnaan.
4. Di poin ini saya akan jelaskan sedikit tentang kiprah Muawwiyah yang menurut saya mengalami dilema politis apakah melanjutkan khilafah ala minhajin nubuwwah atau beralih ke bentuk kerajaan. Sebagai orang beriman kita harus memiliki husnuzh zhan pada para sahabat ridhwanullahu alaihim, tidak terkecuali Muawwiyah bin Abi Sufyan orang pertama yang mendirikan kerajaan dalam Islam. Beliau banyak dikecam, tapi banyak para ulama dan juga saya (yang mencoba ikut ulama) memilih untuk mendudukkan masalah sesuai porsinya.
Menurut saya perubahan sistem khalifah pada kerajaan bukan perkara kecil, ia adalah perkara besar karena menyangkut bukan hanya masalah suksesi pemimpin, namun juga pada model pengelolaan keuangan, pranata politik, sosial dan budaya, bahkan juga sejarah dan hukum. Tidak ada yang lebih mengkhawatirkan bagi kaum muslimin kecuali terjadinya monopoli kekuasaan di segelintir orang. Begitu juga konsekuensi ketika rezim ini digulingkan.. kerajaan berikut dengan a berbeda namun dengan polah yang sama.
Hampir tidak pernah ada dalam sejarah ketika sebuah kerajaan tumbang akan digantikan dengan kekuasaan seperti periode kenabian, tidak juga oleh Nabi Dawud dan Sulaiman. Perlu diketahui kekhilafahan Islam tidak dibangun atas dasar menumbangkan sebuah kerajaan, Islam dibangun pada masyarakat yang tidak mengenal sistem kerajaan hanya sistem suku yang mereka juga memiliki sebuah dewan syura yang bernama Darun Nadwah. Selituh suku berdiri setara. Bisa dibayangkan dahsyatnya kerusakan jika kekuasaan ini toba-tiba berubah menjadi sistem kerajaan.
Namun Muawwiyah memiliki pertimbangan lain, pertama rakyat yang kini dipimpinnya bukanlah sahabat seluruhnya seperti masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar. Artinya Muawwiyah melihat rakyat di masanya belum layak mendapat kemewahan untuk hidup di sistem khalifah yang penuh berkah. Perlu kita ketahui perang Jamal dan Shiffin adalah perang yang terjadi karena derasnya fitnah dan adu domba dari musuh-musuh Islam. Perang Jamal bahkan menewaskan 2 dari 10 orang sahabat Rasulullah SAW yang dijamin masuk surga yaitu Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah. Hal yang membuat Ali bin Abi Thalib amat sangat sedih, karena Zubair juga sepupunya. Bukan orang lain, sedangkan Thalhah adalah orang yang memiliki 4 istri yang seluruhnya saudari isteri-isteri Rasulullah SAW.
Kedua wilayah persebaran Islam yang sudah amat luas, membutuhkan orang-orang yang dapat dipercaya untuk mengelolanya. Selain ikatan keimanan, ikatan yang paling kuat adalah kekerabatan. Plus minus selalu ada, kesetiaan pengikut iman ada pada Allah dan konsekuensinya adalah tidak ada ikatan pada makhluk kecuali dalam konteks taat pada Allah. Sistem nasehat dan minta nasehat adalah suatu keharusan tidak ada yang kebal kritik dan nasehat semua dalam kerangka ibadah pada Allah. Tidak ada kekurangan pada sistem ini, namun bisa jadi ada penolakan pada kebijakan yang menurut persepsi bawahan tidak sesuai dengan kaidah ibadah dan maslahat. Kasus Hudaibiyah adalah contohnya, seorang Umar bisa tidak sepakat pada keputusan Rasulullah SAW. Walaupun akhirnya beliau mengerti namun penolakan keras sempat dilayangkan pada Rasulullah SAW "Apa benar engkau Rasulullah..?" Adalah pernyataan keras Umar pada Rasulullah di Hudaibiyah. Bukan masalah taat tapi masalah persepsi yang tidak sama. Apakah Rasulullah SAW menghukum Umar? Yang ada hanyalah penyesalan Umar selama sisa hidupnya setelah menyadari kebaikan dari kebijakan Rasulullah SAW. Pemimpin yang hebat adalah yang menginspirasi bukan pemegang cambuk yang siap diayunkan.
Sedangkan ikatan kekerabatan bukannya tidak memiliki kelebihan, bukankah 4 khulafa'ur Rasyidin seluruhnya memiliki pertalian kekerabatan yang amat erat dengan Rasulullah SAW? Dua yang pertama adalah mertua dan dua yang terakhir adalah anak menantu Rasulullah SAW. Memang suatu kemewahan tersendiri jika kita menemukan seluruh anggota keluarga kita adalah orang-orang beriman dan aktivis dakwah, suatu kemewahan karena nabi Adam, Nuh dan Luth tidak menikmatinya. Namun sebagaimana kemewahan dunia bisa diusahakan, kemewahan ma'nawiyah ini dapat diupayakan pula. Tentu Rasulullah SAW mendapat kemewahan ini dari upaya kerasnya berdakwah mengusahakan agar hidayah ada menghiasi hati manusia.
Jadi tidak ada salahnya mengangkat karib kerabat untuk menduduki jabatan jika yang bersangkutan kompeten dan memiliki kapabilitas. Beriman, kompeten, kapabel dan ternyataa masih ada hubungan kekerabatan, sepertinya wajar jika sampai menjadi prioritas utama untuk menjadi orang kepercayaan. Jika suatu rezim kerajaan mampu menghasilkan seorang pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz, saya rasa tidak seeorangpun akan menganggapnya buruk dan bahkan akan menanti kehadirannya di setiap masa.
Namun memang