Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com
Powered by Blogger.

IQRA', APAKAH BENAR CUMA ANJURAN BELAJAR?

Tulisan ini bukanlah tafsir al Quran hanya upaya kecil saya melakukan tadabbur terhadap ayat-ayat Allah. Jika ada dari penulisan saya yang tidak sesuai dengan nash yang shahih atau pengertian yang lebih tepat, dengan ini saya menyatakan untuk menarik pendapat saya yang salah dan kembali kepada kebenaran.

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan"

Beberapa hari yang lalu sebelum peringatan Hari Kartini, salah satu televisi swasta mewawancarai seorang tokoh wanita yang sukses di bidang bisnis, dan lebih menariknya lagi beliau sukses di beberapa bidang bisnis yang berbeda. Pertanyaan yang diajukan oleh presenter adalah, “Bagaimana ibu bisa sukses di berbagai bidang bisnis, apa ibu ini memiliki multi talenta?” Jawaban dari ibu ini, “Sebagai umat Islam tentu kita tahu bahwa ayat yang pertama turun adalah Iqra’, Iqra’Yaa Muhammad..” bla.. bla.. bla..

Ada lagi seorang teman yang menjelaskan tentang pentingnya ilmu memberi komentar, agar tidak mengedepankan prejudice, tidak berprasangka buruk terhadap sesuatu yang baru atau terhadap sesuatu yang belum diketahui hakikatnya. Sekali lagi ayat Iqra’ inilah yang dikeluarkan.

Tidak jarang pula beberapa artikel mengelaborasi makna Iqra’ sampai batas yang saya pribadi menjadi sangat ragu apa begitu maksud ayat tersebut. Di antaranya adalah mengembangkan kata iqra’ bukan sekadar membaca, namun juga mengamati, menganalisa, merenungkan. Dan mengembangkan bahwa yang dibaca bukan hanya tulisan, namun juga lingkungan, kondisi social politik, rahasia alam semesta. Kalaupun yang dibaca adalah tulisan, maka yang dibaca pun bukan hanya ayat-ayat al Quran yang notabene adalah Kalamullah, namun juga karya manusia, seperti buku2, Koran, artikel dll.

Keraguan saya bertambah setelah saya membaca tafsir al Quran seperti Tafsir Ibnu Katsir, Fii Zhilaal dan al Aisar, makin bertambah ragu setelah saya membaca syarah hadits terkait turunnya wahyu di kitab Fathul Bari. Di kitab tafsir pada umumnya setelah selesai membicarakan makna kata, maka yang dikeluarkan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah ra. tentang turunnya ayat tersebut di gua Hira’. Peran Jibril as, Khadijah binti Khuwailid ra dan Waraqah bin Naufal. Selanjutnya pembahasan berkisar pada penggunaan nama Allah pada awal, sepanjang dan akhir aktivitas, tentang kekuasaan Allah dalam penciptaan, penciptaan manusia dari segumpal darah, tentang ilmu dan pena. Ada hal menarikdi Tafsir Al Aisar yaitu terkait pembahasan Qalam (pena) sebagai makhluq pertama yang diciptakan Allah yang menulis segala kejadian yang akan terjadi pada alam ini di Lauhul Mahfuzh 50.000 tahun sebelum alam diciptakan, tidak ada pembahasan secara khusus mengenai hal ini hanya tertulis di catatan kaki, Dan terakhir tentang ilmu yang diupayakan dengan belajar yang dengan asbab tersebut Allah mengajarkan manusia hal-hal yang belum diketahuinya.

Saya tidak menafikan Iqra’ sebagai salah satu aktivitas belajar yang paling efektif, atau tidak pula anti dengan ilmu-ilmu yang baru dan tidak menutup diri bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi umat Islam di abad pertengahan adalah karena giatnya umat Islam belajar pada peradaban lain selain menggali khazanah keilmuan yang dikabarkan oleh nash2 keagamaan. Namun saya fikir ada suatu topik besar yang lebih penting dari hanya terpaku pada makna membaca dan belajar. Apalagi 5 ayat ini adalah wahyu pertama yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW.

Banyak yang memotong ayat tersebut cukup di kata “Iqra’” tanpa melanjutkannya pada kata2 setelahnya. Padahal dalam bahasa arab kata Iqra’ itu adalah fi’il amr (kata perintah) yang membutuhkan maf’ul bih (objek). Apa yang diperintahkan? Bacalah, dengan nama Rabbmu yang memiliki kuasa untuk menciptakan. Ayat ini berisi tentang tauhid, mengenal Allah yang bukan saja menciptakan manusia namun juga seluruh alam ini. Menciptakan dengan menyusun adalah suatu hal yang berbeda. Mencipta adalah membuat sesuatu yang tadinya tidak ada menjadi ada. Sedangkan kemampuan manusia ada di ranah menyusun, melakukan assembling bahan-bahan yang sudah ada untuk menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupannya. Ayat ini adalah tentang mengenal Allah dan mengenal diri kita sendiri, karena lanjutan dari ayat ini adalah:

خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
“Menciptakan manusia dari segumpal darah”.

Mengenal Sang Pencipta dan yang diciptakan adalah pokok masalah eksistensi keberadaan manusia di muka bumi. Suatu hal yang mengarahkan hidup manusia dan membuatnya berharga di dunia. Bahwa keberadaan manusia di bumi ini dikehendaki oleh Sang Pencipta, walaupun mungkin orang lain tidak menghargai keberadaannya di dunia. Jadi, ketahuilah wahai manusia! Anda semua berharga di hadapan Allah, karena keberadaan anda diinginkan dan bahkan diciptakan sendiri oleh Yang Maha Pencipta. Perasaan inilah yang dibangun oleh Islam, kesetaraan. Tidak ada seorang pun di atas bumi ini yang dapat mengaku memiliki keunggulan atas dasar keturunannya atau karena ia berasal ras tertentu. Semua manusia sama, diciptakan oleh Allah SWT. Bahwa mulia tidaknya seseorang bukan karena keturunannya namun pada keyakinan dan perbuatannya. 

Dalam kajian sufistik ada keyakinan bahwa tiap manusia yang ada di bumi ini sudah ada perannya masing-masing yang sangat spesifik dalam kehidupan, yang tidak tergantikan oleh manusia lain, dan yang pasti hal itu merupakan ketentuan yang azali dari Allah SWT. Oleh sebab itu jangankan menganggap rendah manusia lain karena ras atau keturunan tertentu, bahkan menganggap profesi seseorang tidak berarti saja tidak boleh. Saya teringat dengan film Ipin dan Upin sewaktu ibu guru menyuruh anak2 untuk menggambarkan cita2nya dan mempresentasikannya di kelas. Salah satu anak, yaitu Fizi bercita-cita menjadi tukang sampah. Banyak anak2 yang tertawa, namun Cik Gu menjelaskan dengan bijak tentang pentingnya seorang tukang sampah. Memang menjadi tukang sampah semua orang bisa, namun tidak semua seorang mau melakukannya. Bagaimana jika tidak ada yang mau menjadi tukang sampah? Bisa ditebak yang terjadi adalah kekacauan. Kacau dalam pengelolaan lingkungan hidup, kacau dalam rutinitas waktu. Apakah terbayang bagi anda, jika kita diharuskan mengantar sendiri sampah2 rumah tangga dan industri ke Tempat Pembuangan Akhir? Bagaimana panjangnya antrian mobil dan motor pribadi masuk TPA Bantar Gebang tiap hari? Berapa kerugian waktu, bahan bakar, kemacetan dan hal-hal lain yang tidak dapat dihitung dengan uang? Kita harus bersyukur masih ada yang mau jadi tukang sampah, masih ada yang bersedia membersihkan dan mengangkut sampah yang menumpuk di depan rumah kita dan bahkan bersedia menarik gerobak sampah dengan dirinya sendiri ke rumah-rumah warga. Tidak ada yang salah dengan profesi seseorang, karena tiap manusia memiliki peran yang harus dijalankan. Pilihan kita hanya bersungguh-sungguh dalam menjalani peran tersebut atau tidak.


اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ
"Bacalah dan Rabbmu Maha Mulia"

Yang mempunyai otoritas dan secara mutlak memiliki kemuliaan adalah Allah SWT Sang Pencipta, sehingga Dia pula yang berhak menentukan kriteria kemuliaan. Bukan manusia.

  إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa." (al Hujurat : 13)

Taqwa sendiri memiliki definisi yang singkat: Mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan. Untuk mengenal perintah dan larangan manusia perlu belajar. Oleh sebab itu maka Allah mengajar manusia melalui perantaraan Qalam.

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
"Yang mengajari manusia dengan pena."

Setelah membaca beberapa referensi, menurut saya ada 2 pengertian besar terkait Qalam, yaitu

1. Qalam sebagai media pengajaran pada manusia
Menarik bahwa ayat ini turun pada kaum yang tidak terbiasa dengan budaya menulis. Dalam salah satu pengajian Sirah Nabawi belasan tahun yang lalu seorang ustadz menyebutkan bangsa Arab di masa Rasulullah SAW tidak bisa menulis bukan karena tidak pandai, namun karena mereka menganggap menulis adalah tanda kelemahan akal. Menurut mereka, orang yang masih membutuhkan tulisan berarti memiliki kelemahan hafalan, karena segala sesuatu harus ditulis. Di sisi lain bangsa Arab pada saat itu amat terkenal dalam membuat sya'ir-sya'ir berkualitas secara spontan yang dipakai baik dalam forum resmi maupun informal. Islam datang menguatkan sastra Arab, melengkapinya dengan suatu tradisi yang mampu melestarikan kebesaran dan keagungannya, yaitu membaca dan menulis. Bahkan setelah mereka pandai membaca dan menulis pun tradisi menghafal masih sangat kental.

Hampir seluruh ulama salafus shalih adalah manusia-manusia yang memiliki tradisi menghafal, membaca dan menulis yang amat luar biasa. Imam asy Syafi'i dikenal dengan kemampuannya  menghafal 10.000 sya'ir hanya dalam waktu 3 bulan dan mendatangi gurunya, yaitu Imam Malik dalam keadaan telah hafal seluruh kitab al Muwattha'. Bukan itu saja, beliau adalah seorang pemikir dan penulis yang luar biasa. Sampai hari ini kitab-kitab beliau seperti al Umm, ar Risalah, Ikhtilaful Hadits dll tetap menjadi rujukan umat Islam dan beliau adalah salah seorang ulama pendiri Madzhab yang paling banyak pengikutnya di muka bumi.


2. Qalam sebagai penulis ketentuan Allah di alam semesta
Qalam adalah   makhluq pertama yang diciptakan Allah SWT (dalam pendapat lain diciptakan setelah ‘Arsy dan air), tepatnya 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan alam semesta beserta isinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كتب الله مقادير الخلا ئق قبل أن يخلق السماوات زالأرض بخمسبن ألف سنة

“Allah telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.”

(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab al-Qadar (no. 2653), dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan pula oleh Tirmidzi (no. 2156), Imam Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 557))

Dalam sabdanya yang lain,

إن أول ما حلق الله القلم, قل له: أكتب! قل: رب وماذا أكتب؟ قل: أكتب مقادير كل شيء حتى تقوم الساعة

“Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman, ‘Tulislah!’ Ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya Kiamat.’”

(Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 4700), dalam Shahiih Abu Dawud (no. 3933), Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam ­asy-Syari’ah (no.180), Ahmad (V/317), dari Shahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu)

Ilmu Allah pada Alam Semesta dan Alam Manusia
Allah telah menyuruh pada Qalam untuk menuliskan segala hal yang akan terjadi di alam dengan amat rinci, sampai tidak ada sehelai daun pun yang jatuh kecuali telah dituliskan taqdir atas waktu berikut kaifiat (cara) seperti apa ia akan jatuh.

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yg ghaib; tak ada yg mengetahuinya kecuali Dia sendiri, & Dia mengetahui apa yg di daratan & di lautan, & tiada sehelai daun pun yg gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), & tak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, & tak sesuatu yg basah atau yg kering, melainkan tertulis dalam kitab yg nyata (Lauh Mahfudz)" (QS. Al An'am ayat 59)


Ketika Allah menyampaikan dalam ayat ini "(Dia) yang telah mengajari manusia dengan Qalam (pena)" maka di sini ada suatu pelajaran besar bahwa manusia dapat memperoleh pengetahuan dari apa yang telah Allah SWT tuliskan pada alam ini, melalui pengamatan terhadap berbagai fenomena alam dan hukum logika yang konstan. Tentu kita masih ingat bagaimana Isaac Newton menemukan hukum gravitasi, Archimedes yang merumuskan hukum pengapungan di atas benda cair, atau juga Alexander Flemming yang menemukan penicilin. Semakin maju teknologi maka makin banyak penemuan yang dihasilkan manusia berdasarkan pada pengamatan dan eksperimentasi di berbagai bidang. Kabar baiknya Islam mendorong ditemukannya berbagai kebaikan untuk kemanusiaan ini sampai akhir zaman. Saat eropa masih percaya bahwa penyakit adalah kutukan maka dokter-dokter Islam sudah bisa melakukan tindakan operasi untuk beberapa penyakit. Saya masih ingat film Robin Hood, di mana salah satu teman Robin Hood yang berasal dari suku Moor Muslim bisa membantu persalinan istri Little John dengan operasi Caesar, sementara di satu sisi Sang Rahib masih sibuk mencurigai sang muslim sebagai orang sesat.

Apa yang kita kenal ilmu eksakta sejatinya adalah alat bantu bagi manusia untuk memahami dan memanfaatkan apa yang disediakan Allah SWT di alam ini untuk memakmurkan bumi. Namun ilmu itu sendiri sekali lagi hanya pengetahuan untuk menyusun dan merangkai yang telah Allah SWT ciptakan. Pendekatan pembelajaran ilmu alam yang lebih banyak menggeluti rumus-rumus dan eksperimentasi membuat manusia melupakan melupakan esensi penciptaan dan siapa yang ada di balik penciptaan. Bahkan banyak dari para ilmuwan justru bukan menjadi dekat pada Sang Pencipta justru menjadi atheis.

Konsistensi hukum Allah pada alam memudahkan manusia membuat teori dan bangunan ilmu yang solid, tanpa konsistensi pengamatan dan eksperimentasi hanya sebuah kesia-siaan. Newton tidak mungkin merumuskan hukum gravitasi jika tidak ada konstanta gravitasi bumi. Dan pada akhirnya adalah banyak rumus terkait fisika khususnya yang terkait dengan gerak memiliki "konstanta" atau sesuatu yang konsisten, mempunyai nilai yang tetap. Saya tidak katakan seluruh rumus, hanya banyak. Tanpa konstanta maka seluruh perhitungan adalah variable.

Jika hukum pada alam harus menunjukkan konsistensinya agar teruji dan terpakai dalam keperluan sehari-hari, maka demikian pula hukum yang terkait dengan alam manusia terkait hubungannya dengan Allah dan sesama manusia. Ada hukum dan ketentuan yang juga konsisten, sebagaimana Allah SWT juga menjadikan tubuh manusia sendiri sebagai suatu konstanta yang bergerak sesuai hukum alam, namun keberadaan akal pada manusia menjadinya makhluq yang sepenuhnya variable dalam pilihan. Jika manusia tidak memiliki konstanta dalam jiwa dan akalnya maka manusia akan melakukan apa saja yang dikehendakinya, dan hasilnya adalah kehancuran. Konstanta pada jiwa dan akal manusia ini yang kemudian dikenal dengan agama. Dan merupakan kasih sayang dari Allah Yang Maha Rahman bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah, mampu mengenali dan cenderung pada kebenaran. Sentuhan agama akan memberikan kenyamanan dan kepastian akan langkah-langkah sekarang dan hasil yang akan diperoleh nanti di akhirat.

Kesadaran Sejarah, Masa Kini dan Masa Depan
Manusia hidup saat ini di alam materi, namun sudah menjadi suatu kepastian empirik bahwa ia akan meninggalkan alam materi ini. Selama manusia hidup ia menyaksikan bagaimana orang-orang terdekatnya menghembuskan nafas terakhir atau menyaksikan bagaimana ribuan orang mati dalam bencana alam atau perang. Tidak ada yang abadi di dunia ini semua akan menemui ajalnya. Moment kematian memberi 3 pelajaran besar pada manusia yaitu kesadaran masa kini yang dipadukan dengan kesadaran sejarah masa lalu dan persiapan masa depan. Perpaduan 3 kesadaran ini yang membuat manusia dapat memaksimalkan tujuan hidupnya. Potensi dikenali manusia lewat masa lalu, apa yang telah dipelajari dan dikerjakan, di mana dan dengan siapa ia hidup dan pertanyaan-pertanyaan lain yang bersifat introspektif. Di masa depan ia berhadapan dengan tantangan dan kesempatan serta apa yang harus ia persiapkan sekarang untuk menghadapinya. Tanpa kesadaran yang baik maka hidup manusia hanya kumpulan cerita hari-hari menjemukan yang tetap akan dipertanggungjawabkan pula di hadapan Sang Pencipta.

Ketika menghadapi realitas-realitas yang jauh lebih besar dari dirinya, maka manusia harus berpindah dari 3 kesadaran individual pada kesadaran yang lebih universal. Di sisi inilah manusia memperlajari sejarah peradaban manusia dan juga agama yang dianut, dihubungkan dengan realitas dunia yang saat ini dihuni serta tidak lupa membuat perencanaan terhadap apa yang telah dilakukan manusia saat ini dan juga hal-hal yang telah Allah SWT tetapkan sebagaimana yang telah dituliskan dalam nash-nash agama. Sejarah dan masa depan dalam realitas yang lebih besar dari diri manusia adalah sesuatu yang ghaib bagi manusia, yang hanya dapat dijembati dengan wahyu.

Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari hal ini? Islam telah mengajari kita untuk komprehensif dalam melihat segala hal. Kita telah diberi informasi oleh Allah melalui Rasul-Rasul yang mulia tentang awal kejadian alam ini dan kesudahannya. Kita pun juga diberi tahu dari mana kita berasal dan bagaimana kesudahannya. Kita pun telah diberikan peta jalan untuk menempuh perjalanan ini dengan baik dan apa konsekuensinya jika kita memilih jalan selain dari itu. Awal dan akhir yang jelas, aturan permainan yang juga jelas, konsekuensi yang juga sangat jelas.. Itulah yang hendak disampaikan pada manusia. Jangan sekali-kali kita melihat persoalan yang terjadi pada diri kita, keluarga, negara, dan dunia ini secara terpisah dengan realitas akhirat yang akan kita alami. Tidak ada pemisahan antara urusan dunia dengan agama, sebagaiman tidak ada dikotomi antara aturan Allah pada alam semesta ini dengan aturan Allah pada skala manusia. Seluruh urusan manusia di dunia ini diatur oleh aturan Allah sebagaimana alam taat pada hukum Allah. Persoalan apakah agama itu dipakai atau tidak oleh manusia adalah hal lain, begitu juga dengan akibat2 yang ditimbulkan di dunia dan akhirat karena pengabaian tersebut.

Keterbelahan realitas individu muslim yang shalat dan sudah menunaikan ibadah tapi masih berzina atau berjudi misalnya, terlalu disimplifikasi dengan ungkapan "untuk apa shalat dan haji tapi masih zina dan judi" tanpa ada upaya di level legislasi dan eksekutif yang memadai untuk memberantas secara sistemik pintu-pintu zina dan judi. Ketika seorang muslim atau komunitas kaum muslimin diharapkan untuk memberikan contoh bagaimana sebuah "rahmatan lil 'alamin" namun bertumpu hanya pada kesalehan pribadi dan minus perlindungan institusi negara terhadap pintu-pintu maksiat, maka saya anggap sebuah mimpi berkepanjangan. Seorang muslim dan komunitasnya tidak dapat berdiri sendiri, mereka harus berada dalam lingkungan yang juga sesuai dengan identitas dan entitasnya. Seindah apapun seekor ikan Koi tidak akan dapat hidup di air laut. Semoga dengan pemaparan di atas kita makin mengerti bagaimana menghayati dan mendudukkan doa yang kita sering baca, “Rabbanaa aatinaa fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban nar".

عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
"Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya"

Untuk mengetahui hal yang belum diketahuinya manusia perlu belajar, penjelasan di atas telah menguraikan bagaimana manusia dapat memahami atau berilmu terhadap sesuatu yang belum diketahuinya: belajar dan mengamati hal-hal yang telah dituliskan al Qalam di alam ini. Proses pengamatan dan pembelajaran yang berkelanjutan ini menjadikan manusia "mengetahui" hal-hal yang belum pernah diketahui sebelumnya. Cara belajar mandiri seperti ini yang dikehendaki oleh Allah agar manusia mendapatkan pengetahuan yang solid dan terus berkembang. Ketika alam ini tidak ada habisnya untuk dijadikan objek penelitian yang selalu berkembang, Allah SWT juga menegaskan cara mendapatkan ilmu melalui metode pengajaran. Setelah Nabi Adam as diciptakan, Allah SWT langsung mengajari nama-nama segala sesuatu:

وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا
"Dan kami ajarkan pada Adam nama segala sesuatu"  (QS. 2:31).

Setelah manusia pertama diciptakan maka Allah pula yang langsung mengajarinya. Di sini terbersit suatu maksud bahwa setelah manusia berkembang biak, maka hal pertama yang dilakukan ayah dan ibunya adalah mendidik. Artinya pendidikan yang pertama kali dilalui manusia adalah dari orang-orang yang menjadi sebab keberadaannya di dunia, yaitu ayah dan ibu. Sebagaimana Allah telah menciptakan Adam as dan mengajarinya, demikian pula peran ayah dan ibu yang paling utama, yaitu mendidik. Ketika kita menginginkan ada makhluq lain hidup bersama kita, maka itu berarti ada beban mendidik pada yang menginginkan keberadaannya. Di sini pula jawaban mengapa Allah SWT sendiri yang berkehendak mengajar Adam as, bukan Adam as yang berkehendak meminta pelajaran dari Allah SWT sebagai Sang Pencipta. Kalimat "Dan kami ajarkan pada Adam nama segala sesuatu" sebenarnya bisa ditukar dengan "Adam belajar nama segala sesuatu pada kami." Namun di ayat ini Allah ingin menunjukkan bahwa Dia langsung yang mengajari manusia atas kemauanNya sendiri. Bukan semata karena manusia minta diajari sesuatu oleh Allah. Bukan manusia yang aktif dalam hal ini, tetapi Allah yang berkehendak. Allah yang berkehendak agar manusia mulia dengan ilmu. Allah berkehendak manusia menjadi khalifah di muka bumi. Tanpa akal dan ilmu manusia hanyalah hewan yg dapat berjalan dengan dua kaki. Demikian pula hendaknya para orang tua di segala tempat dan zaman harus melihat pendidikan anak dari perspektif yang sama.

Kemuliaan dan kepemimpinan
Menjadi manusia berarti berani menjadi mulia, karena tujuan akhir dari menjadi hamba Allah adalah taqwa, sedangkan taqwa adalah ukuran kemuliaan seseorang. Semakin seorang berilmu dan beramal sesuai ilmunya maka semakin mulia pula kedudukannya di sisi manusia dan juga di sisi Allah Yang Maha Mulia. Dengan perspektif ini maka tujuan utama pendidikan adalah menjadi insan mulia. Sedangkan kepemimpinan adalah konsekuensi logis dari orang yang memiliki kemuliaan.

Dengan logika ini maka menurut saya pendidikan yang tidak menghasilkan kemuliaan bagi yang memilikinya dan juga tidak memunculkan kesanggupan dalam memimpin diri sendiri, keluarga, masyarakat dan negara, maka bisa dipastikan model pendidikan yang dijalankan adalah gagal. Gagal membuat seorang manusia menjadi mulia dan gagal menjadi pemimpin adalah standar yang tidak bisa ditolerir.

Dalam sejarah, kaum yang tidak dapat menghasilkan kemuliaan apalagi kepemimpinan, biasanya akan tereleminasi dari panggung kehidupan. Nabi Musa dan Nabi Harun telah berupaya sekuat mungkin agar Bani Israil terangkat derajatnya dari kaum budak menjadi penguasa Palestina. Namun memang karakter budak yang terbiasa rendah dan direndahkan membuat mereka tidak percaya diri dan bahkan menolak mentah-mentah proyek kemuliaan yang Allah siapkan bagi mereka. Mereka lebih memilih mengatakan:

قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلا إِنَّا هَا هُنَا (٢٤)

Mereka berkata, "Wahai Musa! Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya, selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja."  (QS. Al Maidah ayat 24)

Yahudi adalah kaum yang tidak siap menjadi mulia dengan standar Allah. Mereka memilih hal-hal yang menyenangkan dalam jangka pendek dari pada berjuang menuju kemuliaan. Walhasil, apa yang kemudian terjadi adalah mereka mengalami "Tih" atau pengembaraan tidak tentu arah selama 40 tahun sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat ke-26. Allah SWT memiliki proyek lain, yaitu menghabisi generasi lembek produk perbudakan dan mempercayakan proyek kebangkitan besar ratusan tahun kemudian di masa Nabi Samuel, Thalut dan Dawud. Bangsa yang tidak siap mulia akan tereleminasi, itu hukum peradaban.

Demikian pula yang dihadapi oleh Nabi Nuh as, yang terkenal sebagai salah satu Nabi Ulul 'Azmi dan terkenal kesabarannya berdakwah selama 950 di kaumnya. Namun apa yang beliau temui selama hampir 10 abad adalah kaum yang cuma memiliki kesiapan berbuat kemaksiatan dan tidak bersyukur (faajiran kaffaran). Nabi Nuh akhirnya meminta Allah SWT agar mengeleminasi umatnya dari muka bumi, suatu hal yang tidak diminta oleh Nabi Musa untuk kaumnya.

وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لا تَذَرْ عَلَى الأرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا (٢٦) إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلا يَلِدُوا إِلا فَاجِرًا كَفَّارًا (٢٧
Dan Nuh berkata, "Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur. (QS. Nuh ayat 26-28)

Tidak mulia dan tidak siap memimpin masih lebih kecil resikonya daripada tidak mulia tapi siap menjadi pemimpin orang-orang yang tidak mulia. Bani Israil di zaman Nabi Musa adalah kaum yang sibuk dengan permintaan-permintaan kenyamanan personal dan berbagai penyimpangan yang bersifat personal namun merata. Hal yang mereka lakukan secara bersama-sama adalah menolak perintah Nabi Musa. Penentangan akbar mereka adalah ketika mereka secara bersama-sama menyembah patung sapi emas setelah diperdaya oleh Samiri.  Namun penentangan mereka pada Nabi Musa pada zaman itu tidak sampai membawa mereka pada makar pembunuhan (sesuatu yang nantinya akan dilakukan juga oleh mereka pada nabi yang lain) atau perlawanan fisik frontal terhadap Nabi Musa.

Kaum-kaum yang dieleminasi oleh Allah SWT sebaliknya menempuh segala cara termasuk upaya kekerasan dan pembunuhan dalam menghalangi dakwah dan ciri khas kejahatannya adalah terorganisir dan terinstitusi. Hasilnya adalah pewarisan dan kaderisasi kejahatan secara kontinyu. Kejahatan dengan bentuk yang sudah sempurna seperti ini sulit untuk diputuskan keterkaitan mata rantainya dengan cahaya hidayah. Hal ini disebabkan kejahatan ini sudah menjelma menjadi pranata sosial, politik dan ekonomi yang mapan serta ada banyak kepentingan duniawi yang menurut sebagian orang terlalu mahal jika harus ditukar dengan hidayah. Adakalanya Allah SWT cukup memakai tangan-tangan manusia yang beriman untuk mengenyahkan kemapanan ini, namun adakalanya pula Allah sendiri yang menentukan adzab apa yang paling cocok untuk mereka. Namun satu hal yang pasti adalah Allah tidak ridho dengan kekafiran.

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ

 Jika kamu kafir (ketahuilah) maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran hamba-hamba-Nya. (QS. Az Zumar ayat 7)

Bentuk dari ketidakridhoan Allah itu diwujudkan dengan mengutus para insan mulia sebagai Nabi dan Rasul pada setiap zaman dan tempat. Bahwa boleh jadi Sang Utusan tidak diterima dan bahkan dibunuh oleh kaumnya, namun hal yang pasti Allah tidak pernah berhenti mengupayakan hidayah untuk para hambaNya. Hal yang menarik adalah ketidakridhoan Allah terhadap kekufuran (di ayat yang lain) disertai dengan janji bahwa orang-orang yang shalih lebih berhak menjadi pemimpin dari siapapun.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai (Islam). Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik (QS. An Nuur ayat 55)

Melalui ayat ini kita menjadi paham bahwa menjadi orang baik saja tidaklah cukup, kepemimpinan adalah konsekuensi logis dari keshalihannya. Berkuasa di bumi disertai konsistensi pada aturan Allah adalah mega proyek yang tidak seluruh Nabi mengalaminya. Tercatat dalam sejarah hanya Nabi Yusuf, Dawud, Sulaiman dan Muhammad SAW yang pernah mencapai puncak kekuasaan politik dan ekonomi, dan ternyata hanya Rasulullah SAW yang mampu meneruskan model kepemimpinannya pada generasi berikut. Jika dunia ini begitu sering dikuasai oleh orang-orang yang tidak taat pada Allah, maka seharusnya kepemimpinan orang shalih adalah dambaan yang perlu diperjuangkan sepanjang zaman. Kiprahnya orang shalih lebih layak mengisi buku sejarah daripada kehancuran yang diciptakan oleh selainnya.

Di masa sekarang, apa yang kita saksikan di negeri ini adalah pendidikan yang jangankan menghasilkan pemimpin, menghasilkan insan mulia saja masih jauh. Kasus-kasus pedofilia yang korban dan bahkan pelakunya adalah anak di bawah umur, demikian juga rentetan kekerasan di jalanan adalah fakta tak terbantahkan. Sementara itu setiap hari kita menyaksikan panggung kekuasaan yang seharusnya menjadi benteng terakhir rakyat untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan justru menjadi lembaga legalisasi kemaksiatan. Tiap hari kita melihat dagelan orang-orang baik menjadi tersangka kasus-kasus tidak terpuji. Akhirnya terbentuklah kepercayaan masyarakat yang timbul dari sikap skeptis bahwa menjadi pencuri adalah legal selama tidak tertangkap.

Saya hampir tiap hari mendapat pemandangan yang cukup aneh di masjid, yaitu sekelompok orang yang saling tunjuk untuk menjadi imam shalat, dan kalaupun menjadi imam shalat tidak berani menjadi imam di mihrab atau minimal di shaf terdepan. Biasanya mau jadi imam asalkan di shaf belakang atau di teras masjid. Namun di lain tanyangan saya menyaksikan ada ratusan orang berebut antri zakat. Gejala apa ini? Sebagian orang malu mengambil inisiatif untuk menjadi pemimpin dalam kebaikan, sementara di lain kesempatan rela menghinakan diri untuk uang Rp 50.000,-. Ternyata itulah produk pendidikan kita, yaitu manusia-manusia minus leadership tapi mau cepat kaya.

Sebagai penutup, sekaligus mengulangi pembahasan di atas bahwa wahyu yang pertama turun ini bukan saja berisi tentang keutamaan membaca dan belajar namun lebih jauh dari itu adalah, hampir seluruh rukun iman hadir dan memiliki perannya masing-masing. Iman pada Allah adalah topik sentral. Ada sosok Jibril yang menyampaikan wahyu adalah iman pada malaikat. Ada pula sosok Rasulullah sebagai orang menerima wahyu adalah bentuk keimanan pada rasul. Wahyu yang pertama kali diturunkan jelas-jelas merupakan wujud dari keimanan pada kitab Allah. Sedangkan iman pada hari akhir dan taqdir baik dan buruk adalah konsekuensi kita belajar melalui al Qalam sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Dan saya telah jelaskan pula sebagai rangkaian ayat yang diturunkan pertama kali pasti ada sesuatu yang luar biasa, tidak sekadar dan sesederhan "membaca".

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk diri saya pribadi dan teman-teman.

Wallahu a'lam.
Terima kasih telah membaca artikel tentang IQRA', APAKAH BENAR CUMA ANJURAN BELAJAR? di blog Tadabbur Kubur Takabbur jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.

Artikel terbaru :

Mas Sehat | Blog Tentang Kesehatan | Mas Sehat ~ Blog Tentang Kesehatan | www.mas-sehat.com