Di iklim pilpres yang makin dekat ini media memainkan peran penting
dalam menyampaikan visi dan misi para calon. Tidak itu saja bahkan
pandangan-pandangan orang yang dianggap berpengaruh dan memainkan
peranan penting di sekitar capres juga turut meramaikan media. Sebagai
orang dekat capres, pastilah orang-orang itu adalah manusia pilihan baik
dari segi kecerdasan individual, leadership dan networking.
Dari beberapa berita yang sempat saya baca, terus terang saya merasa
kecewa membaca komentar orang yang saya anggap pilihan tadi. Siapa yang
tidak kenal dengan Anies Baswedan dan Alwi Shihab? Namun membaca
komentar mereka saya merasa ada beberapa dari ucapan mereka tersebut menurut saya tidak layak untuk disampaikan.
Anies Baswedan
Tokoh yang digadang-gadang menjadi menteri pendidikan jika Jokowi
menjabat presiden ini memiliki track record yang luar biasa, selain
sebagai peserta konvensi capres Partai Demokrat, beliau terkenal sebagai
penggagas Gerakan Indonesia Mengajar.
Komentar beliau tentang mengapa ia menjatuhkan pilihan pada Jokowi
karena yang bersangkutan adalah orang baik. Memang tidak
secara langsung menjelekkan pasangan yang lain, namun kita sangat
mengetahui arah tendangan beliau. Beliau berkata, "Orang baik cenderung dipermasalahkan ketika dia ingin masuk ke lingkaran kekuasaan. Tapi lalu orang bermasalah masuk politik, harus dihentikan," Saya tidak mau membahas "kasus" yang
sampai sekarang tidak pernah juga di-clear-kan oleh pihak militer dan
tidak juga aparat berwenang lainnya di negeri ini. Namun yang jelas sampai dengan hari ini beredar Surat Pemecatan Letjen Prabowo yang banyak pihak meragukan otensitasnya. Namun menurut saya
menonjolkan sisi masa lalu yang kelam (yang tidak pernah terbukti dan
menjadi polemik hingga hari ini) calon yang satu dan menyanjung
"kebersihan" calon yang lain, menurut saya seperti logika sinetron dan
film kartun anak-anak. Saya kira kita sedang tidak menonton film Batman
yang selalu baik dan musuh2nya seperti Penguin, Ra's al Ghul dan Joker
yang pasti buruk. Jadi ini sebab nya kenapa saya katakan komentar AB
tidak seperti manusia yang dikaruniai kecerdasan di atas rata-rata
manusia di Indonesia. Ini cuma logika bocah yang sedang nonton film
Batman.
Bersih tidaknya seseorang di negeri ini bukan hanya tentang narasi
pengadilan dan vonis, namun juga tentang persepsi yang dibangun oleh
kekuatan media. Dan apa yang kita alami selama 16 tahun ini adalah
ketidakjelasan yang pasti tentang status hukum seseorang. Lawan politik
beliau pada 16 tahun yang lalu lebih menyukai penggantungan status hukum
seseorang dengan hanya melakukan seremonial pencabutan pangkat dan
tidak kunjung berani membuka siapa sesungguhnya King Maker kasus
kerusuhan 1998. Selama 16 tahun ini rakyat disuruh menilai sendiri apa
arti "seremoni lepas pangkat" dari pada mengetahui dengan pasti siapa
yang seharusnya masuk bui.
Sementara di pihak lain calon yang didukung AB saat ini menghadapi kasus
hukum yang jelas-jelas masih berada dalam kewenangannya, namun entah
mengapa KPK dan Kejagung seakan-akan mandul dan hanya berani menangkap
kasus-kasus pesanan. Yang terakhir jadi layak dipertanyakan adalah kasus
SDA terhadap dana penyelenggaraan haji. Hebat sekali KPK langsung
geledah sana geledah sini, tapi kenapa tidak melakukan hal yang sama
terhadap kasus bus transjakarta karatan. Hanya berani sampai di second
layer, tidak sampai menyentuh first layer. Persis seperti kasus Century
dan Hambalang. Belum lagi akhlaq mulia calon capresnya AB yang mangkir
dari panggilan Bawaslu supaya mempertanggungjawabkan pelanggaran pemilu
yang dilihat semua orang di negeri ini. Wow.. (Catatan: hari sabtu lalu akhirnya Jokowi mendatangi Bawaslu setelah 2 kali mangkir)
Jadi pertanyaan saya adalah "Apakah karena yg satu buruk yg lain pasti
baik?" Baik buruk di negeri ini sesuai dengan yang dipersepsikan media
dan tentunya para pemilik modal yang asyik memainkan bidak-bidaknya.
Alwi Shihab
Beliau terkenal sebagai cendikiawan muslim terkemuka, meraih 2 gelar
doktoral dan pernah mengajar di Harvard University pastilah bukan orang
sembarangan. Saudara-saudara kandung beliau seperti Quraisy Shihab
(pakar tafsir) dan Umar Shihab (salah satu ketua MUI Pusat) tentu sudah
tidak asing bagi telinga kita. Beliau pernah menjabat sebagai menteri
luar negeri di era presiden Gusdur dan menko kesra di era SBY-JK.
Saya tidak tahu harus berkomentar apa ketika membaca ucapan beliau di
media yang mengangkat masalah SARA. Memprovokasi warga NU dengan isu
Wahabi saya kira bukan tindakan bijak. Ini di luar ekspektasi saya,
kalau yang mengangkat isu ini orang-orang pinggiran dengan tingkat
intelektualitas seperti saya, mungkin masih bisa saya maklumi. Tapi
beliau ini doktor dari luar negeri pula pernah jadi dosen di harvard dan
menteri di 2 kabinet, saya hanya dapat menepuk jidat.
Isu Wahabi bukan isu baru, kakek saya yang termasuk warga Muhammadiyah
awal di Bengkulu, kalau menurut cerita ayah saya, beliau pernah
dikejar-kejar orang kampung pake golok. Sekarang gerakan ini sudah
menjadi salah satu gerakan mainstream di tanah air. Demikian pula dengan
gerakan-gerakan Islam lain yang bertipe hampir sama seperti al Irsyad,
Persis dan mungkin masih banyak yang tidak terdaftar sebagai ormas,
dalam hal ini gerakan Salafi yang memiliki banyak pengikut dan lembaga
pendidikan. Apapun gerakannya saya kira kita tidak sedang membicarakan
disintegrasi NKRI dan pengkotak-kotakan masyarakat. Sebagai pemimpin
seharusnya bisa merangkul seluruh kalangan untuk bersama membangun
bangsa dan negeri ini. Sesuatu yang tidak saya lihat pada beliau.
Dalam sejarah Islam gerakan yang gemar melakukan disintegrasi adalah
Syi'ah dan dari fakta sejarah bahwa peperangan pertama di antara para sahabat Rasulullah SAW dipicu oleh aksi-aksi intelijen kaum Abdullah bin Saba' nenek moyang syiah. Fakta di lapangan hingga saat ini banyak penzhaliman
yang dilakukan penguasa Syi'ah Iran terhadap golongan Sunni di sana.
Anda tidak akan menemukan satupun masjid Sunni namun dengan mudah
menemukan sinagog yahudi di Iran. Salah satu tokoh Syi'ah Indonesia yang
saat ini menjadi aleg DPR RI periode 2014-2019 dari partai pendukung
capres nya Pak AS ini pernah mengancam terjadinya konflik Sunni-Syi'ah
Irak pindah Indonesia. Kalau saya melihat dua fakta ini, sulit bagi saya
untuk tidak mengkategorikan AS bagian dari mereka (dan semoga saja
tidak). Kelakuannya sama persis.
Jusuf Kalla
Beliau adalah mantan Wakil Presiden RI periode 2004-2009, mantan menteri
perdagangan di era Gusdur dan Menko Kesra di era Megawati, mantan Ketua
Partai Golkar, mantan ketua HMI Sulsel, ketua PMI dan pengusaha sukses.
Mungkin masih banyak lagi kedudukan dan keutamaan beliau yang saya
tidak tahu.
Dengan berbagi pengalaman di bidang organisasi, jabatan publik dan
bisnis menurut saya beliau adalah tokoh yang sangat matang.
Komentar-komentar beliau sungguh bernas dan tidak terpancing untuk masuk
ke wilayah-wilayah rentan sengketa. Kalau bukan karena presiden SBY
memiliki kecerdasan lebih di bidang strategi otak-atik otak saya pikir
beliau layak jadi Presiden RI dari tahun 2004 yang lalu.
Ucapan beliau yang menurut saya dapat dijadikan pelajaran besar adalah
ketika menanggapi pertanyaan ibu-ibu saat berorasi di Sumatera Barat,
yaitu tentang melarang perda syariah kecuali di Aceh. Jawaban beliau
jauh di luar ekspektasi saya, yang mengira seperti jawaban normatif
Trimedya Panjaitan politisi partai pendukung capres pak JK, yang
mengedepan NKRI, Pancasila dll. Jawaban beliau sederhana, “Perda syariat
itu merendahkan Islam, menurunkan derajat syariat, menghina Allah, dan
menyinggung ulama. Karena kita, seharusnya melaksanakan syariat untuk
mengamalkan ajaran Al-Quran, bukan karena Perda,”
Cerdas, sekali tendang kena 2 sasaran. Pertama beliau tidak masuk dalam
benturan fatsoen ke-Islaman, ke-Indonesiaan dan kebangsaan. Tepatnya
tidak seperti Trimedya.. Hehehe.. Ketaatan orang Islam pada ajaran agama
tidak perlu dibenturkan dengan institusi negara, karena menurut beliau:
“Padahal, kita melaksanakan syariat itu karena takut kepada Allah SWT,
bukan karena takut dengan polisi atau hansip. Kalau seperti itu, saya
yakin para ulama akan tersinggung, karena perda syariat itu sendiri
melanggar syariat.”
"Syariah itu mengatur aqidah, ibadah dan muamalah. Kalau untuk ibadah
dan aqidah, tak perlu diatur dalam perda. Al Quran, punya kedudukan
lebih tinggi dari pada perda. Kalau persoalan itu diatur dalam perda,
lalu apa bedanya bupati dengan Tuhan."
Kedua, beliau sekaligus mengkritisi peran da'i dan ulama yang agak kurang
aktif dalam membina umat, sehingga masih perlu perda untuk
menakut-nakuti umat. Kalau peran da'i dan ulama berperan baik harusnya
kesadaran menjalankan syariat timbul dari dalam diri masing-masing orang
Islam bukan melalui perda. Sindiran beliau "Saya yakin para ulama
tersinggung" menunjukkan tamparan penuh perhitungan dari Daeng Ucu.
Jadi kita bisa lihat kualitas penonton sinetron, pengadu domba dan
negarawan pada 3 manusia yang berbeda ini. Entah mengapa saya jadi
berpendapat bahwa tingkat kecerdasan seseorang pada akhirnya sesuai
dengan orang yang diikutinya. Saya jadi ingat bagaimana seorang Samiri
mampu memperdaya Bani Israil (yang katanya cerdas) untuk menyembah sapi
emas. Dan saya yakin kalau AB dan AS mendukung capres lain yang konon
kecerdasannya tidak di bawah mereka berdua, ucapan dan pendapat mereka
pasti akan menunjukkan kelas mereka yang sesungguhnya.
Berikut link terkait tokoh dan kejadian yang saya sebutkan di atas:
Anies Baswedan
Alwi Shihab
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/06/06/269583007/Kampanye-SARA-ke-Jokowi-Alwi-Shihab-Itu-Wahabi
Jusuf Kalla
Trimedya Panjaitan
Masyarakat Minang
Prabowo Subianto
Joko Widodo
Jalaludin Rahmat
Terima kasih telah membaca artikel tentang Antara AB, AS dan JK di blog Tadabbur Kubur Takabbur jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.