Saya berharap sudah tidak lagi membicarakan lagi teknis deception,
karena sudah saya sampaikan di tulisan sebelumnya. Saat ini saya lebih tertarik membicarakan sedikit semrawut terkait deologi.
Dunia bisa berjalan dan bertahan selama ini tidak dengan kebetulan.
Begitu juga berbagai kekacauan yang ada. Tidak ada yang kebetulan di
dunia ini. Semua direncanakan dan berjalan menuju sebuah tatanan besar
yang sudah didesign sebelumnya. Anda bisa bilang ini conspiracy theory,
the new world order atau lainnya. Namun yang jelas keteraturan dan
kehancuran tidak ada yang berdiri sendiri.
Para politisi dan great arranger of the world yang selalu berada di
balik segala kejadian tidak pernah tidur merencanakan hal-hal baru yang
mengamankan kepentingan mereka. Apa tujuan mereka? Secara sederhana
persis dengan imperialis abad pertengahan: Gold, Gospel and Glory. Dari 3
hal di atas, 2 point adalah abadi yaitu: Gold (kemakmuran) dan Glory
(kejayaan) sedangkan Gospel (kitab suci) menjadi sesuatu yang bisa
disesuaikan dengan zaman. Namun yang jelas tiap tindakan mencapai gold
and glory harus memiliki legitimasi. Legitimasi itu pada masa lalu
bernama agama dan manusia bangga dapat berkorban bagi Tuhan dan
agamanya. Saat ini manusia sudah agak malu memakai agama untuk
tujuan-tujuan duniawi dan menggantinya dengan ideologi. Ada yang bernama
demokrasi, sosialisme, komunisme dll. Pada masa lalu Presiden Soekarno
bahkan mengusung ideologi nasakom (nasionalis, agama dan komunis) dan
menganggap di luar itu sebagai kepala batu.
Namun persebaran ideologi di koloni ide adalah suatu keharusan sebelum
bisa masuk ke tataran koloni kawasan. Adanya koloni ide akan menghemat
pengeluaran finansial yang diakibatkan oleh pendudukan secara fisik.
Apalagi ideologi bisa dikatakan berada di luar nilai sakral sebuah
agama. Anda bisa beragama apapun saat memilih komunis sebagai ideologi
bernegara. Apalagi ideologi2 lain yang menjamin kebebasan apapun selama
tidak mengganggu hak privat orang lain.
Sejatinya ideologi-ideologi impor memang diciptakan untuk keperluan pendudukan
ekonomi dan politik. Anda tidak dirugikan apapun ketika sebuah waralaba
fastfood amerika masuk ke Indonesia, bahkan akan terjadi pembukaan
lapangan kerja baru dan berputarnya faktor-faktor produksi yang lain karena
keberadaannya. Dan bagi kita amatlah wajar jika waralaba internasional
menginginkan keuntungan, siapa yang dagang tidak mau untung?
Ketertarikan-ketertarikan ini yang kemudian menghilangkan kesadaran tentang apa yang
sesungguhnya terjadi. Dunia retail tampak lebih ramah dari pada dunia
eksploitasi sumber daya seperti pertambangan dan kehutanan. Aroma
eksploitasi dan penjajahan lebih terasa di bidang ini. Sumber daya alam
kita dikeruk, diekspor mentah-mentah ke luar negeri dengan harga yang pastinya
tidak mungkin setara dengan kerusakan yang dihasilkan. Walaupun bisa
dipastikan banyak tenaga kerja lokal yang dipakai, namun entah mengapa
kondisi ekonomi masyarakat sekitar pertambangan tidak pernah ada yang
makmur. Saya pernah ke daerah sekitar Natuna, daerah yang konon kabarnya
salah satu ladang minyak dan gas terbesar di dunia. Apa yang saya lihat
tidak lebih perkampungan nelayan. Saya kurang mengerti ke mana
Multiplier effect yang selalu diharapkan dari investasi luar negeri,
sedangkan di saat yang sama hampir 80% karyawan di anjungan off shore
adalah orang jakarta.
Setiap rupiah yang diinvestasikan ingin memperoleh hasil yang baik itu
manusiawi, tetapi jika terlalu banyak orang yang jadi sengsara dan tidak
mendapatkan keadilan, di situ pasti ada masalah. Masalahnya ada di
ideologi bebas nilai yang berkoloni di tataran ide dan negara. Satu-satunya
nilai yang dianggap harus dianggap ada hanya kesepakatan bersama. Selain
itu ada iuran bersama yang bernama pajak untuk membiayai administrasi
negara. Di luar hal itu tidak ada yang harus diikuti. Anda mau beragama
pakai aliran mainstream atau esoterik bahkan sesat sekalipun tidak
masalah asalkan taat aturan negara. Siapa saja boleh mengambil
keuntungan dan bayar pajak berapapun asalkan tidak mengurangi pemasukan
ke kas negara.
Sistem ribawi adalah keharusan untuk menjamin kesejahteraan dan
pemerataan yang didesign agar tidak pernah tercapai. Jika kesejateraan
terjadi, maka 1 hal yang pasti, biaya2 yang dikeluarkan investor terkait
kesejahteraan juga makin besar, dan otomatis akan mengurangi
keuntungan. Tapi kalaupun itu yang terjadi maka masih bisa tertutup
dengan memasarkan produk pada kelas pekerja secara umum. Hal ini lebih
menguntungkan karena tidak ada ongkos kirim. Salah satu keuntungan
berbisnis di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar (dan semakin
besar setiap tahunnya) yang berarti ada banyak kebutuhan yang bisa
dibisniskan lebih lanjut.
Dua hal yang saya jelaskan di atas adalah pilar sekulerisme: ideologi
lebih khususnya demorasi dan sistem ekonomi ribawi. Bagaimana jika ada
negara yang menolak dua hal ini? Perang.. Jika ada yang tidak bisa diambil
dengan damai maka kekerasan adalah alternatif yang tidak bisa
diabaikan.
Ketika Sultan Abdul Hamid II dari Turki menolak menjual Palestina pada
Zionis dengan harga yang sangat mahal, maka langkah pertama yang
dilakukan adalah membubarkan kekhilafahan terakhir milik umat Islam.
Setelah khilafah hilang baru dilakukan pendudukan militer ke Palestina.
Yang menarik dari bubarnya khilafah di tahun 1924 pada pendudukan zionis
di palestina di tahun 1948 dibutuhkan waktu 24 tahun. Agar berbeda
dengan Arab Saudi yang memilih kooperatif dengan Amerika sejak awal
kerajaan berdiri. Berdirinya ARAMCO arab amerika company di tahun 1937.
Bentuk kerja sama yang erat dari awal yang membuat amerika membebaskan
ideologi dan sistem ekonomi di Saudi. Iraq, Afghan, Mesir adalah contoh
penolakan pemaksaan ideologi dan eksploitasi.
Saya sengaja bicara agak panjang, karena letak media berada di antara
penjajah dan objek terjajahan. Bagaimana terjajah merasa bahagia dijajah
itulah tugas media. Selain mempromosikan produk penjajah juga aktif
melakukan tugas propaganda ideologi. Jika persebaran dan internalisasi
ideologi sudah mencapai jenjang kelas menengah sampai penguasa, maka
imperialis sudah tidak membutuhkan bedil untuk berkuasa di satu negeri.
Namun untuk mendukung ideologi mainstream tidak cukup hanya menyuburkan
satu sisi tanpa menciptakan "hama" yang akan menambah dinamika
dialektis. Keseimbangan ekstrem kiri dan kanan perlu dipertahankan.
Dialektika mainstrem, kiri dan kanan akan menambah pundi2 imperialis,
minimal dari sisi tayangan dengan rating tinggi.
Untuk menyediakan fondasi bagi propaganda ideologi ini diperlukan pula
industri yang terkait dengan pendidikan dan penerbitan. Di sisi lain,
ketersediaan akomodasi adalah hal yang mutlak dan keberadaanya diwakili
dengan industri keuangan ribawi yang amat rentan dengan isu stabilitas
sosial, politik dan keamanan. Permainan isu-isu di bidang ini bisa
menyebabkan sebuah negara tergadai, seperti Indonesia. Intinya industri
dialektika ini dipelihara dengan apik oleh imperialis.
Kehancuran ekonomi Indonesia di tahun 98 sebagian besar disumbang oleh
media. Perekonomian Indonesia yang sebenarnya masih kuat digoreng sampai
gosong oleh media. Akhirnya Presiden Suharto terpaksa menandatangani
LoI IMF, padahal di saat yang sama sebenarnya Indonesia sudah mendapat
komitmen dana dari timur tengah yang jumlah 2 kali lipat jumlah yang
disediakan IMF. Namun permainan isu oleh media memang dahsyat, akibatnya
capital flight seolah tidak bisa ditahan. Bandingkan misalnya dengan
krisis di Amerika tahun 2008 yg diakibatkan oleh subprime mortgage. Istilah subprime mortgage sendiri sebenarnya merupakan eufimisme dari "pemberian kredit pada orang yang tidak layak diberi kredit" sudah menunjukkan permainan kata-kata yang lihai dan penuh muslihat dari para pemain media besar di negeri Paman Sam. Hal yang sebenarnya
terjadi namun tidak terlalu banyak yang perduli adalah akibat yang ditanggung Amerika secara makro cukup signifikan yaitu pembelian secara besar-besaran obligasi pemerintah Amerika oleh pemerintah China. Sudah banyak para ahli mensimulasikan (bisa dilihat di youtube) peralihan aset Amerika ke China hal ini dibiarkan begitu saja. Hal ini menjadi penting, karena China bukanlah negara yang bisa digertak dengan latihan perang-perangan ala Amerika dan sekutunya, justru sebaliknya China yang gemar membuat Amerika dan sekutu-sekutunya ketar-ketir dengan percobaan persenjataan China. Sekali di sini tampak sekali peran media untuk cooling down isu sehingga tidak menimbulkan efek sosial dan politik yang
berart.
Jadi jangan berpikiran negatif terhadap hama kiri, kanan dan
keributan-keributan yang terjadi. Semua itu by design untuk
melanggengkan hegemoni ideologi mainstream dan eksisnya
industri-industri pendukung. Anda yang menganut ekstrem kiri, macam
sosialis, komunis dan atheist, atau anda yang menganut fundamentalisme
atau bahkan radikalisme keagamaan jangan berkecil hati. Anda harus
berbesar hati dan bangga, karena anda pendukung ideologi imperialis
sejati.
Terima kasih telah membaca artikel tentang The Art Of Deception, Langkah Ideologis Media Mainstream di blog Tadabbur Kubur Takabbur jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.
2 comments
Agak berat "mencerna-'nya, jadi kesimpulanya selalu senantiasa ada good and evil ya bang,
Balaskesimpulannya media alat ideologis, punya misi ideologis dan ekonomi tentunya. tergantung siapa yang pegang
Balas