Istilah menang-kalah biasanya melekat pada perlombaan dan tiap perlombaan biasanya ada peserta perlombaan yang lain, kriteria mengapa seseorang bisa dikatakan menang atau kalah dan yang jelas harus ada juri yang menentukan pemenang. Sesuai aturan menulis seharusnya saya menjabarkan 3 hal tersebut, namun saya akan mengajak teman2 semua untuk mencari jawaban dari pertanyaan2 di atas.
Sebuah perlombaan baru dikatakan perlombaan jika diikuti oleh peserta lain. Tentunya kita sepakat bahwa tanpa peserta dan aturan main, tidak ada perlombaan. Saya berasumsi peserta perlombaan ini adalah seluruh kaum muslimin yang melaksanakan ibadah puasa. Namun jika yang saling berlomba adalah sesama kaum muslimin, kira-kira siapa yang pantas menjadi juara 1,2,3... s/d sekian milyar kaum muslimin..? Apa kriteria dan siapa yang menentukan pemenangnya? Sepengetahuan saya puasa adalah ibadah yang sangat pribadi sifatnya, hanya antara Allah dan hambaNya.
Ada juga yang bilang bahwa pesertanya adalah diri dan hawa nafsu kita sendiri. Yang tahu siapa yang menang dan kalah adalah diri kita sendiri. Kalau ini yang terjadi, maka mungkin akan jadi bahan pemikiran lebih lanjut, namun yang jelas sesuai dengan hadits nabi pula (hadits arba'in no. 41) "laa yu'minu ahadukum hatta yakuuna hawaahu taba'an limaa ji'tu bihi" (tidak beriman salah seorang dari kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa). Artinya ini adalah pertarungan sehari-hari dan tidak ada yang istimewa, karena pengadilan yang sesungguhnya ada di hari kiamat kelak. Kenapa dirayakan hari tanggal 1 Syawwal saja. Kalau memang diperlukan perayaan, kita bisa mengadakannya setiap hari.
Saya berasumsi karena dianggap perlombaan, maka moment Ramadhan adalah permainan. Yang namanya main-main ya pasti senang-senang dan pasti akan usai! Setelah selesai perlombaan dan tidak usah menganggap diri sebagai pemenang, yang namanya main-main pasti mindset yang tertanam adalah sorak sorai dan pesta pora. Dan itulah yang sesungguhnya terjadi pada masyarakat kita. Perlombaan belum selesai tapi sudah sibuk beli baju baru dan masak kue. Berbeda dengan di timur tengah yang masih memiliki kultur ibadah dalam menyambut idul fithri, selesai shalat Id orang-orang bukan pada silaturrahim ke keluarga, tapi tidur.. Karena semalaman beribadah, takbiran sampai shalat Id tiba.
Saya coba amati apa benar kaum muslimin di Indonesia menganggap Ramadhan sebagai permainan. Salah satu contoh adalah tayangan televisi selama Ramadhan dalam beberapa tahun terkahir ini, berisi badut2an selama sahur dan menjelang berbuka, ada sinetron yang gak jelas ujung pangkalnya, ada pagelaran musik yang gak jelas siapa yang mau dengar. Saya tidak menafikan ada tayangan-tayangan mendidik lainnya, namun realita tayangan televisi dipenuhi badut dan artis senitron.
Berikutnya adalah hal-hal yang tadinya tidak ada menjadi ada di bulan Ramadhan. Kita tidak bicara soal penambahan kuantitas dan jenis ibadah seperti shalat tarawih dan tadarrus al Quran. Ini terutama soal pasar-pasar kaget yang berjualan hidangan berbuka puasa yang seolah-olah mewajibkan berbuka dengan yang manis. Hal ini pernah saya uraikan di artikel lain:
http://tadabburku.blogspot.
Belum lagi industri kue kering dan basah. Ini masih belum ditambah dengan industri ketupat.. Hehehe.. Langganan saya di pasar pagi rawamangun bikin 8000 ketupat tiap H-1 lebaran. Belum ditambah dengan industri pakaian dan mebel. Kalau pakaian masih masuk akal, tapi saya pernah tugas di daerah timur yang punya tradisi mengganti mebel tiap lebaran.. Hihihi.. Begitulah lomba Ramadhan: lomba kuliner, lomba fashion dan lomba furniture.
Budaya menang-kalah ini bahkan sampai masuk dalam kosa kata yang kita gunakan saat mendidik anak-anak kita tentang puasa. Tentu kita masih ingat apa kata orang tua kita "puasanya kalah berapa?". Nanti dapat uang lebaran sesuai dengan menang kalahnya berapa. Hei.. Ini ibadah atau transaksi beli ikan di pasar?
Mari merenung, ini kualitas diri kita yang sesungguh saat memasuki Ramadhan dan Idul Fithti, suasana pesta, dan budaya. Bukan suasana ibadah dan meningkatkan kualitas diri setelah selesai Ramadhan. Jadi jangan harapkan perubahan apa pun setelah bulan Ramadhan untuk orang-orang yang memandang ini hanya sebagai permainan yang akan usai.
Lalu sebenarnya apa yang kita menangkan selama Ramadhan? Apakah kebiasaan shalat malam dan tilawah al Quran menjadi suatu budaya baru bagi kita? Apakah shaum sunnah seperti senin-kamis, ayyamul bidh, puasa nabi dawud menjadi amalan rutin kita? Apakah sedekah sudah menjadi kebiasaan bagi kita? Apakah menjaga fikiran dan aggota tubuh dari dosa sudah menjadi akhlaq bagi kita? Seperti kata pepatah, "bukanlah Id dengan baju baru, tapi dengan ketaatan yang bertambah".
Saya ucapkan selamat bagi kita semua yang bertambah ketaatannya pada Allah dan RasulNya.
Terima kasih telah membaca artikel tentang MENGGALI MAKNA IDUL FITHRI 2 : KEMENANGAN di blog Tadabbur Kubur Takabbur jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.